Ketika 'Ekspresi Teologis' Bersinggungan dengan 'Nasionalisme Sempit'

- Ulet Ifansasti/Getty Images
Sumber :
  • bbc

Dua siswa sekolah menengah pertama di Batam yang merupakan penganut Saksi Yehuwa, dikeluarkan dari sekolah akibat menolak hormat kepada bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Menurut keyakinan yang mereka anut, tidak dianjurkan untuk menghormat apa pun, kecuali Tuhan mereka.

Sementara, aturan hormat bendera yang menyanyikan lagu kebangsaan pada saat upacara, telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan tentang tata cara dalam upacara bendera.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Batam, saat ini keduanya disekolahkan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Rohaniawan Kristen yang juga Pendeta Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Salemba, Suarbudaya Rahardian, menyebut insiden yang terjadi terhadap dua siswa di Batam adalah "ekspresi teologis yang bersinggungan dengan ekspresi nasionalisme yang sempit".

Meski memiliki banyak kesamaan dengan komunitas Kristiani dalam hal ritus agama, komunitas Saksi Yehuwa memiliki perbedaan pemahaman teologis, antara lain tidak merayakan Natal, tidak memercayai trinitas dan tidak memakai salib.

Berikut hal-hal tentang Saksi Yehuwa yang perlu Anda ketahui:

Saksi Yehuwa masuk ke Indonesia sejak 1930an

Saksi-saksi Yehuwa, atau Yehovah`s Witnesses, adalah suatu denomintasi Kristen yang memiliki kepercayaan yang terpisah dari Kekristenan arus utama.

Kendati begitu, mereka bukanlah suatu sekte dan tidak pernah memisahkan diri dari gereja atau kelompok besar manapun.

Dalam hal-hal lain, penganutnya mengklaim berbeda dengan kelompok lain yang disebut Kristen.

Misalnya, mereka memercayai ajaran Alkitab bahwa Yesus adalah Putra Allah, bukan bagian dari Tritunggal.

Mereka juga tidak memercayai konsep neraka, tidak menerima transfusi darah, tidak merayakan Natal.

Ajaran ini masuk ke Indonesia sejak 1930-an dan kini sudah tersebar di seluruh Provinsi.

Pada 1975, aktivitas mereka dilarang karena ajaran Saksi Yehuwa dianggap memuat hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, seperti menolak salut bendera dan menolak ikut berpolitik.

Namun, pada tanggal 22 Maret 2002, organisasi Saksi Yehuwa di Indonesia secara resmi terdaftar di Kementerian Agama, dengan begitu mereka memiliki hak yang sama dengan penganut agama lain.

Pada 2016 lalu, jumlah penganutnya mencapai lebih dari 26.000 orang.

Pendeta Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Salemba, Suarbudaya Rahardian, yang dikenal dengan pemahaman Kristen yang progresif, mengungkapkan Saksi-Saksi Yehuwa ini bagian dari Kekristenan yang digadang-gadang sebagai kelompok heterodoks, atau bukan arus utama.

"Mereka memang punya keunikan. Salah satunya, misalnya, penghayatan imannya meminta mereka untuk tidak memberikan penghormatan kepada simbol-simbol negara yang dianggap dapat mengkompromikan keyakinan mereka pada Tuhan," jelas Suarbudaya.

Selain itu, menurut Suar, mereka hidup dalam komunitas yang "guyub", yang mana kekerabatan mereka sangat erat dan berkumpul dengan sesama komunitasnya saja.

"Agak eksklusif memang," ujarnya.

Namun, lanjutnya, hal itu patut dipahami karena secara tafsir teologis, Saksi Yehuwa berbeda dengan komunitas Kristen kebanyakan.

"Mereka ada pantangan makan tertentu yang mungkin di komunitas Kristen tidak terjadi. Untuk menjaga kemurnian itu mereka lebih hati-hati dalam mengkonsumsi makanan dan dalam bergaul."

Penghayatan terhadap sosok Yesus pun berbeda dengan umat Kristen kebanyakan.

Kalau dalam ajaran Kristen menghayati Yesus Kristus adalah sang putra Allah atau firman Allah yang hakikatnya sama dengan Allah.

"Saksi Yehuwa tidak memahaminya seperti itu."

"Mereka memahami bahwa Yesus Kristus itu statusnya adalah ciptaan Allah yang derajatnya lebih rendah dari Allah, meskipun lebih tinggi dari manusia yang lain."

Singkatnya, ada perbedaan tafsir teologis antara penganut Saksi Yehuwa dan penganut Kristen arus utama.

Namun, secara etis, Suarbudaya menganggap bahwa Saksi Yehuwa sama seperti umat Kristiani yang lain, "yang mengedepankan kasih, pengampunan dan hidup yang berbagi kepada sesama".

"Dalam nilai etisnya sama saja, tapi dalam tafsir teologis yang sifatnya lebih abstrak, berbeda."

"Artinya, seharusnya dalam interaksi sosial di masyarakat tidak ada problem."

"Mereka punya slightly different approach kepada teks tertentu, tapi secara etis hampir tidak bisa dibedakan, dan mereka menyebut diri mereka Kristiani."

Sekretaris Jenderal Persekutuan Gereja se-Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom menjelaskan meskipun penganut Saksi-Saksi Yehuwa tidak menjadi bagian dari PGI, namun keberadaan mereka diakui.

"Setiap orang kan bebas menganut agamanya. Silakan saja kalau mereka ada di Indonesia sebagai bagian dari Kekristenan di Indonesia, terlepas dari pemahaman teologis yang berbeda."

"Karena gereja-gereja di Indonesia kan banyak ragam pemahaman teologis yang berbeda juga, dan mereka salah satunya," ujarnya.

Bukan kali pertama terjadi

Komsioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang pendidikan, Retno Listyarti mengungkap insiden seperti yang terjadi di Batam bukan kali pertama terjadi.

Sebelumnya pada tahun 2010 di Nusa Tenggara Tenggara dan tahun lalu di Kalimantan Utara, KPAI mendapat laporan adanya siswa sekolah yang dikeluarkan karena menolak hormat kepada bendera Merah Putih.

"Kasus ini bukan kasus pertama di Indonesia. Artinya perlu melihat ini secara bijak," ujar Retno.

Yang semestinya dilakukan oleh pihak sekolah, menurut Retno, adalah melakukan dialog dan pembinaan, baik kepada siswa dan orang tuanya.

Dia juga menyoroti keputusan untuk "memutasi" mereka ke PKBM bukan pilihan yang tepat.

"Sekolah seperti membuang masalah. Lalu apakah ini kemudian menyelesaikan masalah?," imbuhnya.

Jika penyelesaian persoalan ini tidak sesuai hak asasi manusia, dan tidak mendengarkan suara anak, KPAI khawatir anak menjadi dendam dan marah pada situasi yang menimpanya.

"Harusnya ada upaya yang dilakukan oleh pemda dan Kementerian Agama untuk melakukan intervensi berbasis keluarga, karena problemnya kan di pengasuhan.

Sebelumnya, Komite Sekolah SMP Negeri 21 Batam, mengaku sudah berusaha menangani kasus ini dengan persuasif.

Namun, orang tua murid tetap bersikeras tidak mau mengikuti aturan dan memegang keyakinan mereka untuk melarang anak-anak hormat bendera.

Mengapa mereka menolak hormat kepada bendera?

Herlina, orang tua murid tersebut, mengatakan saat bersekolah di SD swasta, keyakinan anaknya ini tak pernah dipersoalkan. Kemudian, anaknya melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 21 Batam hingga menginjak kelas 8.

"Sejak awal tidak ada masalah, kami dapat rekomendasi dari kepercayaan saya," kata Herlina, seperti dikutip dari tempo.co.

Namun belakangan, ia tiba-tiba dipanggil pihak sekolah karena anaknya selalu enggan memberi hormat kepada bendera Merah Putih tiap kali upacara bendera.

Perempuan in mengungkapkan, menurut kepercayaannya memang tidak boleh hormat kepada bendera, yang dia anggap sebagai "penyembahan".

Namun, untuk menghormati bendera kebangsaan, anaknya mengambil sikap tegap tiap kali lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan.

"Jadi kalau hormat bendera, anak saya tegap," tutur Herlina.

Pendeta Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Salemba, Suarbudaya Rahardian mengungkapkan keengganan umat Saksi Yehuwa mengambil sikap mengangkat tangan dalam menghormat kepada bendera karena itu dianggap sebagai simbol penyembahan.

Suarbudaya berkata, Alkitab Perjanjian Lama dan Baru menyebut mengangkat tangan dan bersujud itu hanya diberikan kepada Tuhan dan tidak boleh diberikan kepada mahkluk ciptaan.

"Hanya kepada Khalik saja itu boleh diberikan. Itu kan bagian dari ekspresi teologis menurut saya. Sama halnya seperti umat Muslim yang tidak menggambar figur-figur penting dalam agama. Itu bagian cara mereka dalam menghayati."

"Sayangnya, ekspresi teologis mereka bersinggungan dengan ekspresi nasionalisme yang sempit," ujar Suar.

Selama ini, kata dia, masyarakat Indonesia dicekoki dengan upacara bendera yang dilakukan setiap pekan, yang kemudian menjadi "cara menghormati Indonesia, bangsa dan negara".

"Tidak bisa ada ekspresi tunggal tentang nasionalisme yang dipaksakan. Kita gandrung terhadap negara dengan cara yang sempit, bagaimana kita dipaksa tunduk dengan apa yang disebut nasionalisme itu," kata dia.

Dengan nasionalisme sempit yang kini sedang berkembang, dia khawatir insiden yang terjadi terhadap dua siswa di Batam, bisa menimpa siapa saja. Dan menurutnya, hal ini "berbahaya jika dibiarkan".

"Hari ini Saksi Yehuwa, besok mungkin orang yang karena lupa tidak ikut upacara, atau lupa mengibarkan bendera, mereka dengan mudah dikriminalisasi sebagai orang yang tidak mendukung NKRI," ungkapnya.

Apa solusi ideal untuk kasus serupa?

Suarbudaya mengungkapkan negara harus hati-hati menyikapi benturan ekspresi teologis dan ekspresi nasionalisme semacam ini. Apalagi, Saksi Yehuwa bukanlah aliran agama yang liar, melainkan diakui secara resmi di Indonesia.

"Ini yang harus jadi semacam acuan, kalau mereka menghayati agama dengan tidak menghormati bendera pasti ini sudah diketahui dua puluh tahun sebelum mereka dicatatkan di Kementerian Agama," ujarnya.

"Jadi ini perkara komunikasi dan familiarisasi bagaimana kita mengenal sesuatu yang berbeda dengan tidak reaktif," lanjut Suar.

Komisioner KPAI bidang pendidikan, Retno Listyarti mengakui, lazimnya memang sikap hormat dilakukan dengan mengangkat tangan. Semestinya, setiap warganegara pun melakukannya sesuai aturan yang berlaku, seperti tertuang dalam Permendikbud nomor 22 tahun 2018 tentang tata cara dalam upacara bendera.

Namun, Sekjen PGI Pendeta Gomar Gultom pun menegaskan, meski berbeda, hak-hak penganut Saksi Yehuwa harus diakui, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan.

Dia mengungkapkan perlunya tafsir yang fleksibel terhadap sikap hormat kepada simbol negara supaya tidak bertentangan dengan apa yang mereka yakini.

"Hormat kepada bendera kan ada rupa-rupa cara. Bisa dengan menundukkan kepala, bisa dengan angkat tangan. Kan itu rupa-rupa cara. Itu yang harus diatur sekolah. Sikap penghormatan kepada bendera kan bisa macam-macam," ujar Gomar.