MUI Persoalkan RUU HIP yang Belum Dicabut dan Status RUU BPIP

Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI). (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • VIVA/Anwar Sadat

VIVA – Meski pemerintah sudah mengganti Rancangan Undang Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dengan RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), kekhawatiran kalau DPR di lain waktu akan membahasnya, tetap bermunculan.

Kekhawatiran itu datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Walau ada penggantinya, tapi RUU HIP masih ada di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR.

"Maka Dewan Pengurus MUI pusat mengingatkan kembali kepada DPR untuk segera dan wajib menarik RUU HIP dari proses pembahasan dan mencabutnya dari Prolegnas," kata Wakil Ketua Umum MUI, Muhyiddin Junaidi, di Jakarta, Kamis 27 Agustus 2020. 

Baca juga: Pengakuan Dua Jenderal Polisi Disuap hingga Pasar Gelap Keadilan

Sebagaimana surat DP MUI pusat kepada pimpinan DPR RI Nomor: B-1291/DP MUI/VI/2020, tanggal 25 Juni 2020, perihal Penarikan dan Pencabutan RUU HIP.

Menurut dia, RUU BPIP yang diusulkan pemerintah bukan merupakan pengganti RUU HIP. Namun, merupakan suatu RUU yang baru. 

Oleh karena itu, harus mengikuti prosedur pembentukan RUU sebagai usul pemerintah yang wajib berdasarkan pada prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Peraturan Tata Tertib DPR RI, agar tidak cacat hukum.

Sekjen MUI, Anwar Abbas menilai, adanya ketidaklaziman dalam pengajuan RUU BPIP dari pemerintah kepada DPR. Jika RUU BPIP yang diusulkan bukan merupakan pengganti RUU HIP, pemerintah harus mengikuti prosedur yang berlaku.

Kata dia, ketidaklaziman tersebut terkait dengan status RUU BPIP yang menjadi inisiatif pemerintah. Padahal, RUU HIP merupakan inisiatif DPR. 

Sejak 16 Juli 2020, polemik RUU HIP memasuki babak baru. Menko Polhukam Mahfud MD pada tanggal itu menyerahkan draf RUU BPIP kepada ketua DPR. Sebab, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan tidak ikut membahas RUU HIP, sehingga tidak mengirimkan surat presiden atau surpres sebagai persetujuan pemerintah ikut membahas bersama DPR.

“Semestinya, pengajuannya dilakukan dalam rapat kerja antara DPR dan pemerintah. Sementara jika Presiden mengajukan RUU BPIP sebagai usulan baru, maka wajib melakukan penarikan RUU HIP dari proses pembahasan, mencabutnya dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan memasukkan RUU BPIP itu ke dalam perubahan Prolegnas,” kata Anwar. 

Buya Anwar menambahkan, ketika pemerintah dan DPR menjadikan RUU BPIP sebagai RUU di luar Prolegnas, maka wajib merujuk dan melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2019.

Bunyi pasal tersebut; Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas mencakup: a) untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam: dan b) untuk mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan urgensi nasional atau suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislatif dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum.
 
Jika RUU BPIP yang diusulkan pemerintah bukan pengganti RUU HIP, namun sesuatu yang baru, menurutnya, tetap harus mengikuti prosedur pembentukan RUU sebagai usul pemerintah yang mengikuti ketentuan UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Juga berdasarkan Tatib DPR.

Untuk itu, menurutnya, perlu bagi pemerintah untuk menjelaskan status RUU BPIP itu. (art)