Kisah Pemuda Menentang Konsumsi Telur Penyu di Cilacap

Tukik-tukik atau anak penyu yang dilepasliarkan di Cilacap, Jawa Tengah.-LILIEK DHARMAWAN
Sumber :
  • bbc

Seorang pemuda di Cilacap, Jateng, bertekad menentang kebiasaan masyarakat mengonsumsi telur penyu. Dia dan rekan-rekannya yang memiliki kepedulian yang sama kemudian membentuk komunitas konservasi penyu.

Cilacap, salah satu kawasan di Pulau Jawa bagian selatan, dulunya menjadi tempat pendaratan berbagai jenis penyu untuk bertelur.

Populasi hewan itu kini semakin menurun, salah satunya akibat pengambilan telurnya oleh masyarakat guna dikonsumsi.

Seorang pemuda di wilayah itu mengaku gusar dengan kebiasaan masyarakat setempat yang gemar mengonsumsi telur penyu.

Tapi tidak sebatas menggerutu. Jumawan, nama pria itu, kemudian membentuk komunitas konservasi penyu bersama rekan-rekannya yang memiliki kepedulian yang sama, untuk berkampanye melawan kebiasaan itu.

Awalnya, pria ini gusar bukan kepalang ketika dirinya melihat iklan di media sosial yang menawarkan telur penyu untuk dikonsumsi.

Selama ini bagi masyarakat pesisir Cilacap, Jawa Tengah, memperjualbelikan telur penyu dan mengonsumsinya adalah sebuah kewajaran.

Telur penyu, yang dalam bahasa setempat dijuluki endog pasiran, diyakini dapat meningkatkan stamina pria walau belum terbukti secara ilmiah.

Telur-telur tersebut dijual dengan harga Rp2.000 hingga Rp5.000 per butir.

"Pada pertengahan 2019 lalu, jual beli dilakukan secara terang-terangan melalui media sosial seperti Instagram," ungkap Jumawan, seorang perangkat di Desa Karangbenda, Kecamatan Adipala, Cilacap, saat berbincang dengan wartawan Liliek Dharmawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Dia mengaku prihatin dengan kondisi tersebut, karena, telur penyu seharusnya dibiarkan sampai menetas agar menjadi tukik.

Bagaimana cara Jumawan menyelamatkan telur penyu?

Jumawan kemudian memantapkan diri untuk berusaha menyelamatkan telur penyu yang ditawarkan melalui media sosial.

"Waktu itu sudah malam, saya langsung menuju ke rumah orang yang menjual. Tenyata dari 100 telur penyu yang ditawarkan, tinggal 50 saja. Akhirnya saya beli semuanya dan saya bawa menggunakan ember yang telah terisi pasir laut," katanya.

Menurutnya, untuk mendapatkan telur penyu, dia harus menggantinya dengan uang. Soalnya, tidak mungkin menghapus secara frontal apa yang telah dilakoni masyarakat setempat selama ini.

Seusai memperoleh telur-telur penyu, Jumawan diam-diam mencari lokasi untuk menanam ember yang berisi telur-telur penyu tersebut.

Ia kemudian membuat lubang sedalam 40 sentimeter sebagai tempat telur penyu agar bisa menetas.

"Saya meletakkannya di pinggir laut dan merahasiakan lokasinya. Takutnya ada tangan-tangan jahil kalau ketahuan orang,"ujarnya.

Selepas menunggu sekitar 45 hari, ternyata dari 50 telur yang ditetaskan itu, ada 33 telur yang berhasil menetas menjadi tukik. Jumawan lantas mengevakuasi hewan-hewan itu ke rumahnya untuk dibesarkan.

Tetapi dalam proses karantina sementara, ada tiga ekor penyu yang mati.

Sebanyak 30 ekor tukik yang telah berumur tiga bulan kemudian dilepasliarkan pada September 2019 silam.

"Saya belajar secara otodidak mulai dari proses penetasan hingga pemeliharaan tukik. Misalnya, kalau ingin menetaskan, maka telur penyu harus ditanam lagi ke dalam pasir dengan menunggu hingga 45-49 hari,"jelasnya.

Beban berat dipikul beramai-ramai

Setelah banyak merogoh kocek pribadi untuk membeli telur penyu sampai akhirnya melepasliarkan, Jumawan mengaku bebannya semakin berat.

Untuk mengganti tempat pemeliharaan sementara tukik, misalnya, memerlukan 20 liter air laut seharga Rp5.000. Padahal, jangka waktu empat hingga lima hari, membutuhkan air sebanyak 50-100 liter.

Jumawan yang melaporkan temuannya ke Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Cilacap, mendapat sokongan dari lembaga itu.

"Saya mengatakan ke BKSDA, bahwa setiap tahun banyak penyu yang mendarat dan bertelur, sehingga harus diselamatkan telur-telurnya,"tuturnya.

Usai pelepasliaran tukik-tukik secara perdana pada September 2019 silam, dirinya mengajak para pemuda untuk membuat organisasi yang kemudian dinamakan Komunitas Konservasi Penyu Nagaraja.

"Komunitas ini terbentuk pada akhir 2019. Salah satu tugasnya adalah melakukan pemantauan penyu-penyu yang bertelur dan melakukan evakuasi telurnya,"kata Jumawan yang kemudian menjadi koordinator komunitas tersebut.

Pada Senin (14/09), komunitas itu juga terlibat dalam pelepasliaran 142 ekor tukik. Anak-anak penyu tersebut merupakan hasil penetasan dan penangkaran yang dilakukan oleh Kelompok Konservasi Penyu Nagaraja.

"Sebanyak 142 tukik dilepasliarkan setelah sebelumnya di tempat penangkaran. Ada yang umurnya empat hari hingga empat bulan. Tukik yang dilepasliarkan merupakan hasil penetasan dari telur hasil evakuasi di tiga lokasi,"kata Jumawan.

Saat ini, menurut Jumawan, dia dan rekan-rekannya telah memiliki tempat untuk penetasan. Tempat tersebut dipagari dengan menggunakan bambu, supaya tidak menjadi lalu lintas kendaraan.

Dengan adanya tempat penetasan, maka relawan konservasi juga dapat memantau dengan baik.

"Ada pagar pembatas di lokasi penetasan, agar tidak dilalui kendaraan bermotor. Di sisi lain, pemantauan juga lebih mudah, dan semakin ke sini nelayan juga makin menyadari dan saling menjaga. Tugas lain yang dilaksanakan komunitas adalah menyusuri pantai dengan jalan kaki ke sepanjang lima hingga enam kilometer untuk memantau penyu yang mendarat,"paparnya.

Ancaman ulah manusia

Kepala BKSDA Jateng Resor Cilacap, Dedi Rusyanto, mengatakan bahwa ada sejumlah titik di perairan selatan Jawa Tengah yang menjadi tempat pendaratan penyu untuk bertelur. Dari informasi nelayan, mereka masih dapat melihat penyu berenang, khususnya jenis penyu hijau (Chelonia mydas).

Ia mengakui banyak ancaman terhadap keberlangsungan hidup penyu. Utamanya adalah ancaman dari perilaku manusia seperti pencurian telur penyu.

Namun, dalam beberapa waktu belakangan, "berkat kegiatan konservasi penyu, masyarakat justru semakin ingin menunjukkan rasa kepedulian dengan ikut serta upaya pelestarian," katanya.

Pantai Jawa bagian selatan, seperti Cilacap, dulunya kerap dijadikan tempat pendaratan penyu.

Jenisnya pun beragam, semisal penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Namun, manusia membuat populasi mereka menurun.

"Berdasarkan catatan ilmiah dan cerita masyarakat, wilayah pantai selatan Jawa merupakan tempat pendaratan penyu," kata ahli biologi laut dari Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Romanus Edy Prabowo.

Menurut Romanus, populasi penyu dulu sangat banyak. Namun, dalam 100 tahun terakhir, ada permintaan daging penyu, telur, dan cangkang sehingga meningkatkan perburuan.

"Populasinya menurun sangat tajam. Tanpa gangguan saja, tingkat survival tukik dan penyu relatif rendah, apalagi adanya campur tangan manusia. Ancaman terbesarnya memang datang datang dari manusia,"katanya.

Upaya penyelamatan, lanjutnya dapat dilaksanakan dengan memerhatikan dua ekosistem penyu yakni pantai dan laut.

"Saat sekarang yang menjadi isu besar adalah masalah sampah plastik. Sampah plastik bisa dikira oleh penyu sebagai ubur-ubur sehingga dimakan. Di pantai, perlu ada proteksi wilayah-wilayah yang menjadi tempat bertelur. Peran manusia dapat dilaksanakan dengan menjaga lingkungan seperti yang dilakukan oleh komunitas konservasi penyu di Cilacap,"ujarnya.

Keberadaan komunitas konservasi di Cilacap, menurutnya, menumbuhkan harapan bagi kawasan tersebut untuk kembali menjadi tempat pendaratan penyu seperti dahulu kala.

"Saya kira masih ada harapan untuk mengembalikan lagi Cilacap sebagai daerah untuk pendaratan penyu agar dapat berkembang biak. Harapan itu masih ada, dan kami pernah melakukan penelitian dengan menyebar kuisioner kepada nelayan. Ternyata ada 4% dari responden yang masih melihat penyu mendarat di Cilacap dan Pulau Nusakambangan. Dan ini menjadi harapan,"tandasnya.