Suasana Ramadan Sekarang dan Dua Tahun Lalu di Tengah Pandemi COVID-19

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Ramadan dua tahun lalu, sebagian besar masjid di Indonesia ditutup demi menghindari penularan Covid-19. Namun Ramadan tahun ini, segalanya berubah `normal`. BBC News Indonesia mendatangi kembali tiga masjid yang dua tahun lalu ditutup.

Belasan orang duduk bersila, berdempetan, sebagian besar tidak bermasker, dan beberapa terlihat takzim menyimak seseorang melafalkan ayat-ayat al-Quran.

Lokasinya di teras depan Masjid Said Naum, di Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, awal Ramadan lalu” hanya sekitar 20 menit jalan kaki dari Bundaran HI.

Sore itu, dinaungi langit yang perlahan-lahan berubah menjadi lembayung, dan dibingkai gedung-gedung pencakar langit di kejauhan, orang-orang itu menunggu waktu buka puasa.

Di hadapan mereka, ada penganan ringan yang dibungkus plastik dan segelas air putih”takjil, begitu sebutannya. Terdengar pula celotehan anak-anak yang seperti menemukan kegembiraan saat Ramadan tiba.

Sajian itu disiapkan oleh panitia yang khusus dibentuk oleh pengurus masjid untuk menyambut Ramadan.

Dan seiring jarum jam mendekati pukul enam sore, jumlah orang-orang yang hendak berbuka dan salat maghrib, tentu saja makin bertambah.

Kisah perantau asal Padang, Sumbar

Salah-seorang di antara mereka adalah pria bernama Aurilio Saputra. Usianya sekitar 30 tahunan.

Rio, sapaannya, berasal dari Kota Padang, Sumatera Barat, dan sudah lima tahun merantau di ibu kota.

Dia bekerja di sebuah perusahaan grosir kerudung di Pasar Tanah Abang.

Sebelum pandemi Covid, Rio rajin beribadah di masjid ini selama Ramadan. Saat itu dia mengontrak ruangan di rumah susun Kebon Kacang di sebelah masjid itu.

Tetapi semuanya berubah saat virus itu merajalela sekitar dua tahun silam. Perusahaan tempatnya bekerja pun terdampak dan masjid-masjid ditutup, di antaranya Masjid Said Naum.

Dia pun dipaksa mencari rumah kontrakan yang relatif jauh dari Masjid Said Naum, dan berusaha memahami larangan pemerintah untuk beribadah ke masjid.

Namun petang itu, Rio tak kuasa menutupi rasa girangnya. Dia bercerita omset penjualan kerudung milik bosnya mulai naik perlahan.

Lebih dari itu Rio mengaku mulai merasakan atmosfir Ramadan tanpa dibayangi-bayangi hantu Covid. Contohnya, ya, dia bisa ikut berbuka bersama di masjid itu.

Sebagai anak rantau, kerinduannya kepada keluarga dan suasana Ramadan di kampung jalanan, seperti terbalaskan, dengan beraktivitas di masjid.

"Kalau di kos, rasanya sepi banget. Enggak ada keluarga di sini," katanya. "Kalau di sini, terasa ramainya. Dapat ibadah salatnya, juga dapat rindu rumahnya."

Apa yang ditampakkan Rio, agaknya, menggambarkan secara umum respons umat Islam ketika larangan beribadah di masjid dicabut seiring menurunnya kasus Covid-19.

Seperti apa perbedaan dua tahun lalu dan sekarang?

Inilah yang melatari keingintahuan saya untuk mengetahui secara langsung seperti apa suasana buka puasa bersama dan salat maghrib berjamaah di Masjid Said Naum, sore itu.

Dua tahun lalu pada akhir April, saat Ramadan, saya mendatangi masjid ini. Ketika itu kawasan Tanah Abang masuk Zona Merah, dan semua masjid harus ditutup untuk mencegah penularan Covid.

Pintu gerbang masjid ditutup dan ada pengumuman pelarangan beribadah ke masjid itu. Satpam yang berjaga juga harus bertanya apa maksud kedatangan saya.

Saat mewawancarai sekretaris masjid, Suparmo, saya saat itu harus menggunakan masker. Mikropon pada alat perekam pun saya bungkus dengan plastik. Pimpinan kantor tempat saya bekerja juga mewanti-wanti supaya saya menaati protokol kesehatan.

Saya teringat Suparmo berujar bahwa semua agenda Ramadan yang sudah disiapkan dibatalkan semua. Ada nada sendu dalam ucapannya.

`Dulu kita saling curiga` - Kisah dari Masjid Said Namun

Pekan lalu, saya tidak bertemu Suparmo. Saya diminta mewawancarai Irwan, kelahiran 1983, ketua panitia Ramadan. Pertama-tama dia menjelaskan situasi saat masjid ditutup saat itu.

"Itu pasti [ada perasaan was-was]. Kita semua khawatir," ungkap Irwan.

"Kita saling curiga," jelasnya lebih lanjut. Dia kemudian teringat ketika ada salah seorang pimpinan masjid yang terpapar, dia dan rekan-rekannya sempat menghindarinya.

"Saking takutnya," Irwan kali ini mengutarakannya seraya terkekeh. Jarak waktu dan situasi saat ini yang mendekati normal, agaknya, membuatnya leluasa menertawakan diri sendiri.

Kini, situasinya jauh berbeda. "Sekarang hampir 80% sudah kayak sebelum pandemi," katanya. Selain buka bersama, masjid ini sudah menggelar tarawih.

"Sudah mendekati normal," tambahnya. Jamaahnya tidak lagi mengenakan masker dan tidak ada lagi jarak saat salat maghrib.

`Kita serahkan kepada Allah...`

Apakah Anda tidak khawatir ada penularan? "Enggak juga, Insya Allah. Kita serahkan kepada Allah," jawabnya.

"Tapi ikhtiar tetap ada. Terapkan cuci tangan, pakai masker. Cuma saat ini sudah berkurang [yang mengenakan masker]," Irwan kembali terkekeh.

Jika dua tahun lalu, pihak masjid mengharuskan penggunaan masker, kini tanggung jawab itu ada pada masing-masing, katanya.

Situasi serba longgar, seperti yang tergambar saat buka puasa dan salat magrib di Masjid Said Naum, juga terlihat di dua masjid lainnya di kawasan Tanah Abang.

Salah-satunya adalah masjid kuno, al-Makmur, yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari Pasar Tanah Abang.

Ketika jarum jam menunjuk sekitar pukul empat sore, saya melihat puluhan orang beristirahat — berselonjor — di ruangan dalam masjid yang berkarpet itu.

`Sekarang situasinya sudah normal`

Ghozi bin Said Abudan, salah-seorang pengurus masjid itu, mengaku pihaknya tidak lagi bisa memaksa jamaahnya untuk menjaga jarak atau mengenakan masker.

Alasannya, situasi sekarang "sudah bisa dikatakan normal". Itulah sebabnya, pihaknya tidak lagi menerapkan jaga jarak saat salat berjamaah, misalnya.

Meskipun demikian, pengelola masjid tetap menyediakan sabun untuk mencuci tangan di tempat wudu. "Tapi tidak semua jamaah mau melakukannya."

"Itu kembali kepada kesadaran masing-masing. Kami juga tak bisa memaksa jemaah untuk bermasker.

"Tapi kita tetap waspada. Saya juga pakai masker kalau berada di kerumunan di luar," akunya kepada saya di ruangan kerjanya, awal April lalu.

Seperti apa situasi Masjid al-Makmur saat Covid `menggila`?

Pada akhir April 2020, ketika saya mendatangi Masjid al-Makmur, pintu gerbangnya ditutup. Mereka tidak menggelar salat jamaah untuk umum saat itu.

Saat itu, saya masih ingat, Gubernur DKI Jakarta memperpanjang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga akhir Mei 2020.

Dalam pasal 11 disebutkan kegiatan ibadah di masjid dihentikan dan warga diminta salat di rumah untuk menghentikan penyebaran wabah virus Corona.

Kawasan Tanah Abang ketika itu masuk kategori zona merah. Di wilayah itu, sampai pertengahan April 2020, ada 60 pasien positif virus Corona.

Saya teringat pula, selagi diberlakukan kebijakan penutupan masjid, ada cerita sebagian umat Islam menolaknya.

Mereka kemudian berusaha mencari masjid lain yang memilih buka. "Ada warga sekitar yang meminta kita menggelar ibadah salat berjamaah," Ghozi mengenang.

Di sinilah, Ghozi, seperti yang dilakukan pemimpin masjid lainnya, berusaha mencari jawaban yang tepat agar alasan penutupan masjid dapat diterima.

`Masjidil Haram saja ditutup, mengapa di sini tak ditutup?`

"Masjidil Haram saja bisa ditutup, kenapa di sini tidak bisa ditutup," Ghozi mengulangi lagi argumennya. Diakuinya ada yang bisa menerima dan ada pula yang menolak.

Kisah warga yang berkukuh menolak penutupan masjid itu saya dapatkan salah-seorang jamaah Masjid al-Makmur. Namanya Yazid Salim, 60 tahun.

Dua tahun lalu, saya bertemu dan mewawancarainya. Dia berjualan penganan kamir dengan gerobaknya di dekat masjid itu.

Pekan lalu, saya bertemu lagi dengan Yazid. Kali ini dia ditemani anaknya saat membolak-balik kamir dari wajan.

`Covid hampir merenggut nyawa saya`

Yazid ketika itu dapat memahami penutupan itu. Dia sejak awal meyakini Covid itu ada dan menular. Keyakinannya tidak luntur apalagi dia kemudian terpapar.

"Hampir merenggut nyawa saya. Alhamdulillah dapat melawan [Covid]," Yazid bercerita dalam logat Betawi yang kental.

"Jangan macem-macem deh. Saya yakin ada [virus Corona], karena saya merasakan. Saya jadi korbannya." Pria 60 tahun ini lalu tertawa getir.

Sebelum bertemu Ghozi dan Yazid, saya mendatangi Masjid al-Barkah di Gang Lontar Atas, masih di kawasan Tanah Abang, Jakarta.

Pada Ramadan dua tahun silam, masjid itu masih menggelar salat bersama, tetapi jemaahnya sangat dibatasi.

`Karpet sudah digelar dan tak ada jarak`

Kini semuanya sudah berubah. Karpet pun sudah digelar seperti sedia kala, dan "salat jamaahnya tidak ada jarak lagi," ungkap Aldo Kahfi, kelahiran 1995, salah seorang pengurus Masjid al-Barkah.

Seperti di Masjid Said Naum dan al-Makmur, Aldo dan kawan-kawannya sore itu sedang menyiapkan penganan dan minuman untuk buka bersama.

"Situasinya normal, mirip seperti Ramadan 2019 dan tahun-tahun sebelumnya," tambah Aldo. "Saya sangat bersyukur, karena suasana Ramadannya terasa lagi."

Kebijakan Aldo dkk melonggarkan aktivitas di Masjid al-Barkah didasarkan kebijakan pemerintah yang secara umum telah mengurangi pembatasan.

Dia juga terus memantau data penurunan kasus Covid-19 di berbagai daerah di Indonesia.

"Itu sudah cukup untuk dijadikan pegangan untuk melakukan ibadah Ramadan secara normal," katanya.

Itulah sebabnya, Aldo mengaku saat ini tidak terlalu khawatir terhadap kemungkinan ada penularan di setiap kegiatan ibadah di masjidnya. Apalagi vaksinasi terus digencarkan, ujarnya.

"Mungkin masih ada beberapa yang positif [terpapar], cuma enggak parah seperti tahun-tahun sebelumnya," tandasnya.

Di Jakarta, saat ini berlaku Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level dua, hingga 18 April 2022.

Merujuk pada aturan itu, masjid dibolehkan menggelar ibadah dengan dibatasi maksimal 75% orang.

Para pengelolanya juga diharapkan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat.

Kembali lagi ke sosok Aurilio Saputra, yang saya temui di sela-sela buka puasa di Masjid Said Naum, awal April lalu.

Saat saya wawancara, Rio mengenakan masker dan menyadari, meski situasinya sudah mendekati normal, dia harus tetap waspada.

Dia tetap khawatir akan ada lagi gelombang baru Covid jika warga atau dirinya lengah.

"Semoga enggak ada gelombang baru [Covid]," ujarnya.

Dia lalu teringat apa yang dialaminya saat pandemi Covid berada di fase puncaknya, yaitu ekonominya yang "hancur-hancuran" dan "serba minus."


https://www.youtube.com/watch?v=WUjWmK2mF0E

[removed]!function(s,e,n,c,r){if(r=s._ns_bbcws=s._ns_bbcws||r,s[r]||(s[r+"_d"]=s[r+"_d"]||[],s[r]=function(){s[r+"_d"].push(arguments)},s[r].sources=[]),c&&s[r].sources.indexOf(c)<0 t=e.createElement(n);t.async t.src=c;var a=e.getElementsByTagName(n)[0];a[removed].insertBefore(t,a),s[r].sources.push(c)}}(window,document,>