Dulu Diterjang Tsunami, Kini Terdampar di Belantara

TARIAN ULIAT PILIGI MENTAWAI
Sumber :
  • Antara/Hafidz Mubarak A

VIVA.co.id - Rumah beratap biru berjejer rapi di sepanjang jalan Desa Kinumbuk. Dalam senja yang merayap, sayup-sayup para ibu menyoraki anaknya agar lekas pulang.

Maklum, tak ada penerangan di desa ini. Hanya lampu petromak dari satu dua rumah yang berpendar. Harga bahan bakar lampu pompa itu terlalu tinggi. Satu liternya Rp15.000.

Tahun ini, genap sudah lima tahun warga dari Pulau Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat meninggalkan kampung halamannya.

Dahulu mereka dipaksa pindah lantaran tsunami meluluhlantakkan sebagian Mentawai. Sebab itu, kini mereka menempati hunian tetap yang kini justru menjadi masalah baru bagi mereka.

"(Waktu tsunami) rumah kami masih utuh, peralatan saja yang rusak," ujar Rani (37), warga Desa Purourogat sembari menunjukkan lemari kacanya yang pecah namun masih terlihat kokoh.

Menyabung Hidup

Kampung baru yang kini menjadi hunian tetap warga Pagai Selatan tersudut di kilometer 40 di jalan sisa penebangan kayu yang kini terisolasi persis di tengah-tengah Pulau Pagai.

Meski seluruh hunian sudah beralas keramik dan hampir 99 persennya siap huni. Namun belum memiliki sarana Mandi Cuci Kakus (MCK).

Masing-masing kepala keluarga dibekali lahan seluas 30x36 meter persegi untuk dikelola. Lebih dari itu tidak boleh. Dulu sempat dijanjikan akan ada lahan seluas dua hektare di luar lahan rumah.

Janjinya, lahan itu  untuk membantu pemulihan ekonomi masyarakat korban tsunami. Namun sayang, hingga kini itu tak kunjung terealisasi.

Pun begitu, warga tetap tak optimistis, sebab jika pun diberikan belum tentu bisa mengembalikan rona baik pada ekonomi mereka. "Di sini lebih banyak karang daripada tanah," kata Darman (50), asal Desa Bulasat.

Oberlis (54), warga Bulasat lainnya, mengaku sejak awal warga sudah menolak direlokasi di kampung baru tersebut. Sebab, sejak lama di dusun lamanya, mereka sudah mengenal tsunami dan sudah percaya bisa terlindung dari ombak mahadahsyat tersebut.

"Sekitar lima kilometer dari belakang rumah ada bukit karang, ini tempat kami berlindung dari ombak tsunami dulu," kata oberlis.

Namun, pemerintah tetap memaksa. Dalihnya tsunami sudah mengincar warga di Pagai Selatan. Bahkan, demi tercapainya program itu, pemerintah mengancam warga yang membangkang direlokasi.

"Kami akan dianggap warga liar jika tidak pindah. (Padahal) Memulai dari nol itu sangat sulit," ujarnya.

Karena itu, terhitung sejak 2011 lalu, mereka pun dirumahkan paksa di tengah hutan. Meski disediakan pemukiman, tapi terancam krisis air, tidak diakui kepemilikan dan rentan berkonflik dengan pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH).

Bayang-bayang Konflik

Bertahan hidup menjadi pilihan sulit bagi warga yang tinggal di hunian tetap di tengah Pulau Pagai. Minimnya lahan yang diperkenankan untuk diolah dan dekatnya kawasan HPH dengan pemukiman, membuat ratusan kepala keluarga kini dibawah bayang-bayang konflik.

Rani misalnya. Ibu rumah tangga asal Desa Purourogat ini mengaku sudah sejak beberapa tahun terakhir jarang sekali mengkonsumsi ikan.

Anak-anaknya mengkonsumsi ikan segar kadang dua kali dalam satu bulan, kadang tidak makan ikan sama sekali. Selebihnya dia mengolah pisang, dan ikan kering sebagai lauk pendamping nasi.

"Kami olah apa yang ada saja, untung ada bantuan bibit cabai dan jagung dari organisasi yang peduli," ungkap rani.

Parlindungan, warga desa lainnya mengaku demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia kerap meninggalkan kampung barunya tersebut dan kembali ke kampung lamanya di Desa Bulasat.

Dalam sepekan, selama lima hari Parlindungan tinggal dan berladang di kampung lamanya yang kini berjarak 20 kilometer dari kawasan hunian tetap pengungsi.

"Disana masih ada kelapa dan masih bisa memancing ikan," ujarnya.

Parlindungan mengaku sebelum tsunami melanda, penghasilannya mencapai Rp400 ribu per minggu. Namun sekarang berbeda jauh. Pohon kelapa andalannya sering dijarah orang lain.

Jarak rumah dan ladang yang jauh membuat tanaman di ladangnya tidak terpantau dengan baik. "Kami juga sudah sangat jarang membuat gulai karena tak ada kelapa lagi," kata Parlindungan.

Karena itu, kini Parlindungan nekat menggunakan lahan HPH secara diam-diam. Ia pun menanaminya dengan pisang. Setidaknya ia bisa mengumpulkan uang Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per tandan. Jauh lebih murah dibanding dijual di pelabuhan Sikakap yang mencapai Rp80 ribu atau Rp150 ribu di Kota Padang.

Terpisah, Kepala Kecamatan Pagai Selatan Rahmad Jaya tak menampik kondisi memprihatinkan warganya tersebut. Berkali-kali warga sudah mengeluhkan hal itu kepadanya.

Namun, Rahmad mengaku tak bisa berbuat banyak. Keterbatasan lahan dan daya membuat Rahmad kewalahan. "Saya minta agar tidak hanya saya yang memikirkan masalah Pagai selatan ini. Bupati, Dinas Sosial,  dan Gubernur juga harus melihat ke sini,” katanya.

Novi Yenti/Sumatera Barat