Dibina BI, Tenun Ulos Sianipar Beromzet Rp1,5 Miliar Sebulan
- VIVA.co.id/Arrijal Rachman
VIVA – Galeri Ulos Sianipar di Medan, merupakan salah satu galeri yang cukup dikenal luas hingga mancanegara. Galeri tersebut menjual dan memamerkan kain tenun ulos dan songket tradisional Suku Batak sejak 1992.
Pemiliki galeri, Robert Maruli Tua Sianipar, menceritakan perjuangan awal mendirikan usahanya. Ia awalnya mempekerjakan 17 penenun. Kemudian, usahanya yang terus berkembang sehingga sempat memiliki 120 penenun pada 1995.
Namun, penenun yang dipekerjakannya itu harus merosot drastis setelah terdampak krisis ekonomi 1998. Imbasnya, galerinya hanya tersisa 45 penenun hingga 2013.
"Tahun 1998 kita terkena imbasnya, karyawan kita kurangi. Karena terjadi penurunan barang. Pelan-pelan kita rumahkan tenaga kerja kita," kata dia di lokasi galeri, Jl AR Hakim, Medan, Sabtu, 20 Juni 2019.
Namun, Sianipar mengaku dengan langkah itu setidaknya dia bisa belajar dari tekanan ekonomi tersebut. Selain juga berupaya membuat berbagai produk turunan yang tak hanya berbentuk kain songket dan ulos semata. Tapi, juga dengan menggunakan bahan yang lebih lentur dan lembut seperti polyester dan sutra.
Beruntung, di tengah gempuran tekanan ekonomi dan menurunnya permintaan produk tersebut, dia pada 2011 ditemui perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Sumatera Utara untuk dibina. Saat itu, tujuan BI hanya membantu agar target pemasaran lebih luas dan bisa merevitalisasi penenun.
"BI inisatif beri masukan. Termasuk bantuan, tapi bantuannya seperti menghadirkan desainer supaya produk kita banyak rupanya, rumah tenun, alatnya dikasih, benangnya dikasih jadi bantuan-bantuannya itu," tutur dia.
Dia menambahkan, bantuan desainer yang didatangi BI dari luar negeri itu berguna untuk memberikan pemahaman supaya produk asli Indonesia bisa diterima masyarakat luar negeri.
"Mulanya bahannya tebal, karena ulos itu tebal artinya, karena daerah Batak kan dingin. Nah desainer orang barat tadi infokan sukanya tipis dan simpel, selain itu lentur dan lembut, maka cara tenunan dan bahan kita ubah," tuturnya.
Menurutnya, dengan berbagai upaya tersebut, dari segi omzet galerinya sekarang mengalami lonjakan signifikan, yakni mencapai Rp1,5 miliar per bulannya. Sebelumnya, omzet maksimal hanya mencapai Rp300 juta per bulan.
Selain itu, hingga kini, dia telah memiliki 180 orang karyawan terdiri dari penenun ulos dan songket.
Kemudian, ia mempromosikan bila sepekan sekali galerinya selalu ada pengunjung dari berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, Jepang. Ada juga dari negara Eropa seperti Prancis, Belanda, Jerman hingga Austria.
Keberhasilannya ini juga karena produk tenunnya ikut dihadirkan di berbagai pameran domestik maupun internasional.
"Kemarin ada orang Austria yang pesan untuk tenunan dan ukiran. Namun, yang jadi kendala adalah penenun kita didominasi yang sudah berumur, satu tenun bisa sebulan," ujarnya.
Sementara, konsultan pendamping UMKM Kantor Perwakilan BI Sumatera Utara, Dani Sutanta mengatakan pihaknya saat ini tengah menggencarkan revitalisasi penenun. Upaya ini disertai dengan menambah kapasitas Gedokan atau Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Upaya revitalisasi penenun itu dengan menggaet pelajar sekolah untuk dibimbing oleh Sianipar dan UMKM nya.
"Karena ini budaya kita khawatir punah kalau tidak ada revitalisasi," kata dia di lokasi yang sama.