Kebijakan Ekonomi Global Beri Sinyal Kuat Resesi Melanda, Bagaimana Nasib Indonesia?

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA Bisnis – Sejumlah pihak dan lembaga keuangan terus meyuarakan bahwa tantangan terbesar di tahun 2023 ini, adalah soal tingginya faktor ketidakpastian akan situasi global yang bakal terjadi ke depannya.

Bahkan, tak sedikit yang menyebut probabilitas atau peluang terjadinya resesi ekonomi global di tahun 2023 itu juga meningkat. Hal itu pun menyebabkan maraknya ramalan soal situasi 'gloomy' pada perekonomian global.

Merespons hal tersebut, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita menjelaskan bahwa terjadinya resesi global itu tergantung pada kebijakan yang diambil oleh negara-negara besar.

"Seperti misalnya Amerika, China, Uni Eropa, Jepang, dan beberapa negara lainya, baik kebijakan ekonomi makro maupun moneter," kata Ronny saat dihubungi VIVA, Senin, 20 Februari 2023.

Ilustrasi resesi ekonomi/krisis ekonomi global.

Photo :
  • Freepik

Dengan melihat perkembangan sampai hari ini, Ronny mengakui bahwa dari sisi moneter, kebijakan-kebijakan yang diambil memang cenderung ke arah resesi. Hal itu misalnya di mana negara-negara besar berlomba-lomba menaikkan suku bunga untuk menjinakan inflasi.

"Artinya, pertumbuhan ekonomi akan dikorbankan demi menjinakan inflasi. Karena liquiditas akan mengetat akibat kenaikan suku bunga, yang berarti laju investasi akan tertekan dan daya serap ekonomi atas tenaga kerja juga akan menurun," ujarnya.

Namun dari sisi fiskal, Ronny mengatakan bahwa meskipun negara-negara besar jor-joran dalam menarik utang, pada akhirnya mereka pun harus membelanjakannya dengan hati-hati untuk menyeimbangkan volume uang beredar (money base). Karena sejak pandemi COVID-19, uang beredar meningkat tajam dan menjadi salah satu sebab terjadinya inflasi tinggi di Amerika beberapa bulan lalu di samping faktor lain seperti perang dagang dan konflik Rusia-Ukraina.

"Walhasil, seperti yang kita telah saksikan, pertumbuhan ekonomi Amerika hanya sekitar 2 persen, pertumbuhan ekonomi China jatuh menjadi 3 persen, begitu pula dengan Jepang dan Uni Eropa," kata Ronny.

Karenanya, Ronny menegaskan bahwa gejala resesi global saat ini memang baru berupa indikasi semata. Tapi melihat konsistensi The Fed dalam melawan inflasi,  di mana mereka masih ingin menaikkan suku bunga untuk mengurangi volume uang beredar. Sehingga, mau tidak mau potensi resesi bukan malah menurun melainkan makin meningkat. 

Situasi Amerika diakui Ronny sangat mirip seperti kondisi di awal tahun 1980-an saat era stagflasi. Di mana Amerika memilih menjinakkan inflasi dan mengorbankan pertumbuhan, sehingga terjadi resesi selama dua tahun setelah Paul Volcker mengerek suku bunga sangat tinggi.

Ilustrasi resesi ekonomi/krisis ekonomi global.

Photo :
  • Unsplash

"Karena kebijakan tersebut, BI akhirnya ikut bersikap. Kenaikan suku bunga The Fed mendorong capital outflow sekitar dua bulan lalu, yang membuat rupiah nyaris menembus angka Rp 16 ribu per dolar AS,” ungkapnya.

“Kenaikan suku bunga BI yang cukup tinggi memang bisa meredam inflasi, tapi berpeluang mencekek likuiditas dan menekan investasi karena suku bunga kredit tinggi. Jika indikasi resesi semakin jelas, karena potensi risikonya tidak saja dari sisi moneter, tapi juga ekonomi riil," tambahnya.