Senjata Super Ini Lebih Mengerikan dari Bom Nuklir

Ilustrasi senjata nuklir.
Sumber :
  • http://www.artileri.org/

VIVA.co.id – Bom atom atau termonuklir diprediksi tidak akan menjadi senjata yang mematikan lagi. Menurut ilmuwan Prancis, Jean-Christophe Bonn, sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) akan menjadi senjata yang lebih mengerikan di masa depan.

Ia mengatakan, sistem ini sudah dikembangkan untuk menjadi kekuatan terdepan di dunia. Pernyataan ini diungkapkan Bonn lantaran teringat oleh tulisan mantan Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela.

"Mandela pernah menulis tahun 1995 bahwa senjata utama abad ke-21 adalah pendidikan. Dia akan menggantikan senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya yang terkenal di abad ke-20. Yang saya tangkap di sini sistem kecerdasan buatan," katanya, seperti dikutip situs Sputniknews, Selasa, 20 Juni 2017.

Bonn menjelaskan, tidak seperti bom atom yang memerlukan biaya tinggi untuk membangun pabrik dan pengayaan uranium, AI hanya butuh silikon dan listrik. Ia juga memaparkan, yang membuat AI menjadi senjata super adalah karena sistem ini tidak dapat dilacak.

"Badan Energi Atom Internasional (IAEA) bisa melacak keberadaan uranium, plutonium dan radionuklida lainnya di lokasi rahasia sekali pun. Tapi mereka tidak dapat melacak AI," paparnya.

Oleh karena itu, kemunculan senjata super semacam ini akan sangat sulit, atau bahkan, tidak mungkin diprediksi.

"Para politisi dan perwakilan badan keamanan dari Prancis, Israel dan negara lain telah menyangkal kalau mereka sedang mengembangkan sistem serupa untuk perang siber. Benarkah demikian? Ini tidak bisa dilacak" ungkap Bonn.

Menurut Wakil Presiden Lab Kaspersky, Anton Shingarev, negara-negara NATO menganggap serangan siber setara dengan perang terbuka dan berhak untuk menanggapi ancaman semacam itu dengan cara apapun yang diinginkan.

Selain itu, serangan siber akan membuat si penyerang rentan terkena serangan serupa, karena fasilitas industri dan militer modern saat ini menggunakan peralatan serupa.

"Mereka beroperasi sesuai dengan prinsip serupa dan terhubung ke jaringan global yang sama. Dengan demikian, korban serangan siber bisa dapat menganalisa dan merespons dengan cara yang sama,” tutur Shingarev.