Tohirin Kakek 70 Tahun Masih Setia Menenun Kain Lurik

Tohirin bersama alat tenunnya
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita

VIVA – Keberadaan kain tenun lurik di Yogyakarta semakin terpinggirkan, apalagi setelah Yogyakarta ditetapkan sebagai kota batik dunia beberapa tahun yang lalu. Kain tenun lurik, yang dibuat dengan merangkai helai demi helai benang pun kalah bersaing dengan batik yang diproduksi secara massal oleh mesin.   

Padahal kain tenun lurik tradisional mempunyai sejarah yang cukup panjang bahkan ratusan tahun. Hal tersebut diperkuat dengan adanya relief di Candi Prambanan bergambar seorang wanita dengan mesin tenunnya.
 
Motif garis-garis tenun lurik diakui memiliki nilai sejarah, budaya, dan seni yang tinggi. Dibuat sangat detail dengan merangkai helai demi helai benang.
 
Sekarang perajin kain batik tenun di Yogyakarta pun sulit untuk ditemukan, karena banyak yang beralih ke mesin tenun. Salah satu perajin kain tenun yang masih menggunakan alat tradisional adalah Tohirin Minto Raharjo (70), warga Dusun Rogocolo Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Meski usia tak lagi muda, kakek Tohirin tekun memintal gulungan benang di rumah sederhananya, tidak jauh dari Pabrik Gula Madukismo. Keahliannya ini kerap kali menjadi rujukan.

Beberapa instansi melakukan kunjungan untuk mengamati proses pembuatan kain tenun tradisional. Selain itu kualitas yang mumpuni membuat sejumlah pelanggannya terus mengandalkan ayah tiga anak ini  memproduksi setiap pesanan.
 
“Yang mau belajar atau memesan kain tenun juga harus bersabar, karena usia saya sudah tua, dan tidak bisa bekerja cepat seperti saat muda,” katanya saat VIVA.co.id berkunjung ke rumahnya, Minggu 22 Oktober 2017.
 
Di rumah Tohirin setidaknya terdapat empat alat tenun manual, yang berada di sebuah ruangan berukuran 5x10 meter. Keempat alat itu tak lagi beroperasi, karena sudah satu pekan ini istrinya, Karminten dan sang menantu, Winda, harus mengurusi salah satu anaknya yang sakit.

Hanya Karminten dan Winda yang membantunya saban hari. Sehingga tanpa keduanya, seluruh proses pembuatan kain lurik mulai memintal, mewarnai benang, dan membuat motif, dan menenun harus dikerjakannya sendiri.
 
“Saya dulu pernah membuat kursus tenun, pesertanya 30 orang. Tapi saya ajak untuk bantu menenun tidak mau, karena sudah bekerja yang penghasilannya lebih besar,” kata kakek kelahiran Solo tahun 1948 tersebut.

Membeli mesin bekas pabrik
 
Kecintaannya kepada tenun berawal saat bekerja di sebuah pabrik tekstil tahun 1960-an. Saat itu dia sempat disekolahkan oleh perusahaan untuk memperdalam teknik tenun ke daerah Klaten, Jawa Tengah.

Hingga kemunculan alat tenun mesin pada tahun 1970 membuat penenun sepertinya tidak lagi digunakan oleh perusahaan. Alat tenun tua tradisional miliknya, yang berumur hampir sama dengannya, itu pun merupakan alat yang juga tidak terpakai lagi oleh pabrik.
 
“Saya hanya punya uang untuk membeli alat-alat itu, setahun kemudian baru bisa beli benangnya,” katanya bercerita.
 
Sejak saat itulah Tohirin yang pernah bekerja sebagai pegawai tata usaha sekolah dasar ini terus mengoperasikan alat tenun bukan tradisional. Pernah sebuah museum di Yogyakarta hendak membeli alat tenun tua miliknya, namun Tohirin menolak.

Menurutnya beberapa bagian alat tenunnya, seperti boom, karap, dan torak, masih bisa digunakan dengan baik. Sehingga dia memilih untuk terus mengoperasikannya untuk menciptakan lembar demi lembar kain lurik.
 
“Tur nek alate ora ono, aku arep nyambut gawe apa (lagipula kalau alatnya tidak ada, saya mau bekerja apa)?” ujarnya.
 
Meskipun berani bersaing kualitas, Tohirin mengaku tidak mematok harga tinggi untuk kain tenun luriknya. Satu lembar kain sepanjang tiga meter dibanderol dengan harga hanya Rp90 ribu saja.

Bahkan Tohirin selalu memberikan potongan harga bagi konsumen yang memesan dengan jumlah besar. Dalam sehari, mesin tenun Tohirin mampu digunakan untuk memproduksi paling banyak delapan meter.

Hanya saja, kendala yang dihadapinya adalah proses pengeringan benang sebelum di tenun. Jika cuaca sedang tidak bersahabat, proses pengeringan itu bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Wajar jika ada pesanan lebih dari 100 meter, Tohirin meminta waktu pengerjaan hingga dua bulan.
 
“Tidak ada alat pengering, ngandalke srengenge (mengandalkan sinar matahari). Itu belum memintal dan membuat polanya karena prosesnya panjang,” ujarnya.
 
Kini kakek Tohirin hanya berharap para pelanggannya bisa bersabar menunggu setiap proses yang harus dilakukannya. Baginya membuat kain lurik dari helai per helai benang bukan sekedar pekerjaan yang menghidupi keluarganya, namun lebih  pada sebuah karya seni warisan leluhur yang harus terus dilestarikan.

Meskipun sulit mencari generasi muda yang hendak meneruskan, Tohirin mengaku akan terus menenun di usia senjanya.