Darurat Campak, MUI Jamin Tak Ada Penundaan Imunisasi Lagi

Ilustrasi imunisasi.
Sumber :
  • Pixabay/dfuhlert

VIVA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa masyarakat tak perlu ragu lagi untuk melakukan imunisasi vaksin Measles Rubella (MR). Sebab, bahaya penyakit campak jika tak segera ditangani, bisa berakibat fatal.

Sebelumnya, MUI melakukan penundaan imunisasi vaksin MR karena belum memiliki sertifikasi halal. Setelah tiga hari lalu Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (LPPOM) resmi mengeluarkan Fatwa MUI nomor 33 tahun 2018. Isinya, masyarakat sudah diperbolehkan menggunakan vaksin tersebut.

Pihak MUI pun menegaskan bahwa tak akan ada lagi penundaan untuk imunisasi fase 2 di 28 provinsi.

"Dipastikan tidak ada lagi penundaan karena sudah ada panduan keagamaan. Bahwa benar proses sertifikasi halal dilakukan tapi tidak terbukti halal. Namun, ada jalan syar'i melalui Fatwa MUI agar imunisasi dibolehkan," ujar Sekretaris Umum MUI, Ni'am Sholeh, saat ditemui di Gedung Kemenkes RI, Jakarta, Kamis, 23 Agustus 2018.

Vaksin MR dari SII (Serum Institute of India) yang menggunakan bahan dari turunan babi tersebut dianggap merupakan satu-satunya vaksin yang saat ini efektif dan aman digunakan. Apalagi, MUI memperbolehkan vaksin MR tersebut digunakan karena adanya pernyataan para pakar yang menyebutkan bahaya penyakit campak jika tidak segera diimunisasi.

"Campak dan Rubella sangat darurat. Penyakit Campak di Indonesia ada di urutan kedua di dunia setelah India. Mungkin yang cakupan 90 persen baru 15 provinsi saja. Campak bisa sangat mematikan, picu pneumonia dan kekurangan gizi," ujar Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Aman Pulungan Sp.A., saat ditemui di kesempatan yang sama.

Sementara, penyakit Rubella yang menginfeksi ibu hamil sangat berbahaya untuk janin. Sebab, lanjut Aman, 90 persen janin akan terdiagnosis sindrom kongenital Rubella yang menyebabkan kebutaan, tuli, otak kecil, hingga kebocoran jantung pada anak.

"Tercatat 2.800 anak menderita kongenital Rubella syndrome per tahun. Kondisi itu bisa membuat satu anak menghabiskan biaya Rp300 hingga Rp400 juta untuk perawatannya,” ucapnya lagi.