Kepala BPOM: Perlu Redefinisi Terminologi Halal Obat dan Vaksin

Ilustrasi obat/suplemen.
Sumber :
  • pixabay/pexels

VIVA – Pertemuan perdana kepala otoritas regulatori obat negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jakarta pada 21-22 November 2018 menghasilkan sejumlah kesepakatan yang disebut "Deklarasi Jakarta". Deklarasi itu salah satunya, menilai perlunya redefinisi terminologi halal untuk obat dan vaksin.

"Definisi halal pada produk makanan tak dipersoalkan, karena kita punya begitu banyak pilihan. Tetapi pada obat dan vaksin, pilihan itu sangat sedikit sehingga terminologi halal perlu didefinisi ulang," kata Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito dalam siaran pers yang diterima VIVA, Jumat, 23 November 2018. 

Penny menjelaskan, redifinisi kata halal saat ini memiliki urgensi. Hal itu akibat minimnya ketersediaan vaksin dan obat halal di pasaran. Padahal, vaksin diperlukan untuk pencegahan penyakit. 

"Unsur emergency inilah salah satu alasan perlunya redefinisi kata halal pada obat dan vaksin," ucapnya.

Data WHO menyebutkan, sebanyak 30 persen populasi dunia kekurangan akses terhadap obat yang bersifat life-saving, termasuk vaksin. Kondisi itu juga terjadi di beberapa negara anggota OKI, yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan kapasitas produksi dari industri farmasi yang ada di negara tersebut. 

"Sejumlah negara OKI hingga kini masih berjuang melawan epidemi penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah lewat vaksin. Pentingnya perluasan akses bagi negara tak mampu untuk mendapat vaksin. Termasuk obat-obatan murah," ujarnya.

Pada pertemuan yang pertama kali digelar itu juga dihadiri oleh, Assistant Secretary General OIC, Muhammad Naeem Khan, CEO of Saudi Arabia FDA, Hisham S Al Jadhey, Mustafa AM Alnafi dari Palestina, Markieu Janneh Kaira dari Gambia dan Kamapradipta Isnomo dari Kementerian Luar Negeri.