Penculikan di Sekitar Kita

Ilustrasi anak aktif
Sumber :
  • Pixabay/Parenting

VIVA.co.id – Dua pekan lalu, grup-grup aplikasi pesan diramaikan informasi seputar kasus penculikan. Kronologi dibeberkan secara jelas. Yang mencengangkan, informasi yang menjadi viral itu menyebut pelaku mengenakan seragam salah satu perusahaan transportasi online.

Si anak disebutkan masih mengikuti pelajaran saat pria tak dikenal itu menjemputnya dari sebuah sekolah dasar di kawasan Depok. Beruntung sang guru tidak serta merta menyerahkan anak ini ke si penjemput. Cerita terus bergulir, dan kisah yang sama diklaim terjadi di wilayah lain. Meski belum jelas kebenaran informasi itu, respons setiap orang yang membacanya, terutama orangtua yang memiliki anak usia sekolah dasar, khawatir luar biasa.

Ketakutan orangtua bukan tanpa alasan. Sebab selain informasi yang beredar di grup-grup aplikasi pesan dan dunia maya, kasus seputar penculikan kian marak menghiasi berita-berita di media massa. Lingkungan rumah yang selama ini dianggap tempat paling aman, tidak lagi memberikan perlindungan.

Terbukti dari kasus yang menimpa dua bocah laki-laki warga Gandasoli, Sukabumi Jawa Barat. Mereka dibawa pria misterius saat bermain di sekitar stasiun kereta yang berada di kampung halamannya sendiri. Peristiwa yang terjadi 29 Oktober 2016 terbongkar ketika salah satu anak berhasil meloloskan diri setelah dibawa hingga wilayah Cianjur. Sementara kawannya berhasil ditemukan bersama pelaku di sebuah rumah di daerah Cianjur pada aksi penangkapan oleh anggota polisi.

Para penculik tentunya memiliki sejumlah alasan ketika menjalankan aksinya. Namun 
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengatakan, setidaknya ada empat tujuan besar dalam kasus penculikan, yakni adopsi ilegal, eksploitasi ekonomi untuk dipekerjakan, eksploitasi seksual. "Dan, demi tebusan sebagai balas dendam ekonomi," kata Arist kepada VIVA.co.id.

Sasaran mereka pun tidak hanya anak-anak usia sekolah dasar, tetapi juga anak-anak balita dan batita. Psikolog anak dan keluarga, Irma Gustiana Andriani M.Psi, mengatakan, orangtua yang bertanggung jawab besar menjaga anak bisa melakukan pencegahan tindak penculikan berdasarkan usia anak.

Pada usia di bawah 6 tahun, sebaiknya anak selalu dalam pengawasan, entah oleh orangtua, nenek atau pengasuh. "Sedangkan pada usia sekolah, anak biasanya sudah bisa diberikan pemahaman," ujar Irma ketika dihubungi VIVA.co.id, Jumat pekan lalu.

Usia di bawah 3 tahun

Pada anak usia di bawah 6 tahun, pemahaman, kemampuan, dan aktivitasnya masih sangat terbatas. Pada usia ini setiap aktivitas anak masih dalam pengawasan. Banyak kasus yang terjadi, penculikan anak usia ini dilakukan orang-orang terdekat korban, misalnya pengasuhnya. Karena itu, proses mengenal hingga melepas anak ke pengasuh seharusnya membutuhkan proses yang lama.

"Dari awal proses, orangtua bisa mempelajari kebiasaan pengasuh. Misalnya cara berbicara, asal-usul, teman-temannya bergaul, keluarganya, cara berpakaian, hingga gerak-geriknya harus dipelajari," ujar Irma.

Selain itu, ajak serta nenek dan tetangga yang dipercaya untuk membantu mengawasi buah hati kita ketika kita tidak di rumah.

Usia balita

Untuk anak usia sekolah, ruang lingkupnya sudah lebih luas. Selain itu kemampuan anak mulai meningkat. Itu artinya komunikasi dengan anak sudah bisa dilakukan, terutama  menginjak usia empat tahun. Anak bisa diberikan edukasi, misalnya, untuk tidak berbicara dengan orang asing.

Pada usia balita, anak juga bisa dijadikan sumber informasi bagi orangtua mengenai apa saja yang dilakukan si pengasuh terhadapnya. Karena itu usahakan untuk selalu menjalin komunikasi dengan balita Anda agar semua kegiatannya selama satu hari bisa termonitor.

Selain itu, jika sedang bepergian ke luar rumah, anak usia balita juga bisa diberikan pengertian dan peraturan. Orangtua harus bisa memberikan pemahaman pada anaknya ketika berada di ruang publik dengan membatasi ruang gerak anak. 

"Contohnya kita bisa bilang, 'Adek, nanti kalau jalan-jalan sama Mama, Adek nggak boleh jauh-jauh dari Mama ya. Batasnya, lima langkah dari Mama berdiri'. Usahakan anak diberitahu jarak, seberapa jauh ia dari orangtuanya," ujar Irma.

Usia sekolah

Di usia ini, anak lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah. Biasanya ada penjagaan dan peraturan tersendiri soal pengawasan di sekolah. Irma menyarankan sebaiknya anak diantar jemput ke sekolah oleh orang yang dipercaya.

Selalu mengawasi anak juga menjadi poin penting. Meskipun orangtua telah menyewa jasa pengasuh yang menemani sang buah hati, usahakan selalu memiliki waktu luang untuk menemani dan memperhatikannya. Temanilah dia bermain, apalagi saat di luar rumah.

"Minimal selalu memonitor anak lewat telepon, atau bertanya pada yang menjaganya di rumah," ujar Irma.

Hal lain  yang harus diperhatikan, jangan memberikan perhiasan berlebihan pada anak karena akan mengundang perhatian. Begitu juga dengan pemberian gadget, hindari membekali anak dengan gadget. Karena anak-anak usia SD belum dianjurkan memegang gadget. Aktivitas penjemputan anak di sekolah juga tidak bisa dijadikan alasan. "Jika memang terpaksa dan harus, sebaiknya berikan anak ponsel yang sederhana saja, jangan smartphone."

Menjalin komunikasi dengan orang-orang di sekolahnya juga penting. Orangtua harus mengusahakan selalu berkomunikasi dengan orang-orang di sekolah atau tempat penitipan, seperti pengasuh atau gurunya. Katakan pada mereka untuk mengawasi anak saat jemputannya terlambat. Mengingatkan kembali kepada pengasuh atau guru anak agar tidak membiarkan anak pergi sebelum orang yang mereka kenal menjemputnya. Dengan begini, Anda akan merasa lebih tenang dan aman.

Tanamkan kewaspadaan

Meskipun terkesan kaku, namun konsep 'don't talk to your stranger' cukup membantu. Konsep ini berlaku untuk usia balita ataupun usia sekolah.

Katakan kepada anak kalau dia tidak boleh langsung percaya pada orang yang baru dikenalnya meskipun dibujuk dengan mainan, permen, atau bahkan uang. Anda juga harus mengatakan kalau mereka tidak boleh percaya kepada orang yang tidak dikenal atau baru saja dikenalnya meskipun orang tersebut menyebutkan nama salah satu anggota keluarga yang dia kenal. 

Selain itu Anda juga bisa menanamkan pada anak, siapapun yang mengajaknya pergi semua atas izin ayah atau ibunya. Hal itu untuk menghindari penculikan yang dilakukan orang-orang terdekat yang dikenalnya.

Timbul kekhawatiran anak akan mengadopsi sikap sombong jika kita menerapkan konsep don't talk to your stranger. Namun Irma menegaskan, penyampaian orangtua sangat penting agar tidak timbul salah persepsi pada anak.

"Jika hanya sekadar menyapa, maka anak boleh membalas salam. Namun jika sudah terjadi obrolan, sebaiknya anak diajarkan untuk menjauh dan mencari orang-orang yang ia kenal," ujar Irma.

Berteriak juga bisa diajarkan pada anak jika orang asing tersebut mulai melakukan tindakan terhadap anak, misalnya memegang, menarik atau memaksa.

"Anak juga bisa dibekali dengan tindakan yang responsif terhadap orang asing jika si orang asing itu sudah melakukan tindakan. Selain itu, anak juga diingatkan untuk segera menjauh."

Beri pengertian orang sekitar

Bagi orangtua bekerja, penjagaan anak diserahkan pada pengasuh atau nenek dan kakeknya. Karena itu memberi pemahaman pada orang-orang di sekeliling anak juga penting dilakukan.

"Ayah bunda juga harus memberikan pengertian kepada orangtuanya (nenek dan kakeknya) karena biasanya pengasuhan itu kan sampai tiga generasi, bisa saja pemahaman mereka soal penculikan berbeda."

Berikan pemahaman soal tipe penculikan kepada orangtua Anda dan agar jangan gampang percaya memberikan informasi, penculik bisa saja melalui telepon atau berpura-pura sebagai salah satu kenalan Anda.

Hal serupaa juga dilakukan kepada pengasuh buah hati Anda.Berikan kepercayaan dan ajaklah bekerjasama sebagai seorang partner kerja. Hargai mereka, sehingga kasus penculikaan bisa diminimalisir.

Sikap orangtua 

Sikap orangtua juga juga penting untuk dibangun. Irma mengatakan, Sebaiknya orangtua (suami dan Istri) membuat kesepakatan dan konsisten menerapkannya pada anak.
"Kemudian kesepakatan itu bisa diturunkan pada support system keluarga misalnya nenek, kakek, om, tante, dan si mbak yang mengasuh."

Selain itu, Orangtua juga bisa sebanyak-banyaknya mencari info soal modus kasus penculikan agar bisa segera mengantisipasinya di rumah.

Proteksi lewat teknologi juga harus dilakukan. Misalnya jika memungkinkan memasang kamera CCTV atau melarang setiap anggota keluarga untuk memasang fotonya di sosial media.

"Jangan pasang foto anak di media sosial apapun bentuknya.Ini berlaku untuk seluruh anggota keluarga. Apalagi informasi tentang lokasi dan kegiatan anak misalnya les. Karena itu bisa jadi sumber informasi bagi pelaku penculikan," ujar Irma.