Ada Sesaji untuk Para Dewa di Balik Sejarah Wedang Ronde

Wedang Ronde
Sumber :
  • VIVA.co.id/Dwi Royanto

VIVA – Bicara minuman yang cocok pada musim hujan, wedang ronde tentu menjadi pilihan. Ya, minuman legendaris Indonesia ini sangat mudah ditemui di berbagai pelosok daerah, khususnya daerah dengan geografis pegunungan.

Meski telah menjadi minuman yang populer, banyak yang tak tahu sejarah wedang ronde di Indonesia. Apalagi fakta menyebutkan bahwa ronde merupakan perpaduan minuman orang Tionghoa dan Jawa.

Jongki Tio, seorang sejarawan Kota Semarang, menyebutkan bahwa wedang ronde yang sangat akrab dengan lidah masyarakat Jawa kali pertama diperkenalkan oleh warga Tionghoa di Indonesia. Konon, ronde memiliki riwayat panjang dan erat hubungannya dengan dewa-dewa. Dalam budaya Tionghoa, ronde merupakan sesaji khusus para dewa.

"Ronde sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad silam. Namun di China minuman itu disajikan khusus untuk dewa-dewa," kata Jongki kepada VIVA, Senin, 12 Februari 2018.

Pria pemilik Restoran Semarang itu membeberkan bahwa nama asli wedang ronde adalah tangyuan. Di tanah asalnya, China, tidak beda dengan di Indonesia, minuman itu disajikan ketika musim dingin tiba.

Tujuan orang China membuat sesaji tangyuan atau ronde untuk para dewa juga terkait musim hujan yang datang. Bagi masyarakat China, musim hujan yang disertai hawa dingin yang panjang tidak jarang sampai merenggut nyawa. Maka sesaji tangyuan bertujuan untuk mendapat belas kasih dari dewa.

"Ketika memohon pada Tuhan, orang sana memerlukan perantara dewa. Agar dewa berkenan, dibuatlah semacam sesajen yang dipersembahkan ketika berdoa di klenteng," katanya.

Tangyuan atau ronde sendiri dibuat dengan adonan tepung ketan yang dicampur sedikit air. Adonan itu menjadi isian utama wedang dan dibentuk menjadi bola-bola berukuran kecil.

Penyajian ronde adalah dengan kuah khas jahe dicampur gula Jawa dan banyak juga yang mencampurnya dengan susu. Di Semarang, ronde sangat cocok disajikan dengan kudapan, seperti lumpia.

Menurut Jongki, sejumlah bahan ronde memiliki filosofi sendiri. Seperti air jahe, manisan jahe memiliki khasiat menghangatkan tubuh. Sementaa bola-bola dengan tiga warna merah, hijau, putih dengan isian gula Jawa merupakan tiga rangkaian pengharapan kepada para dewa.

"Warna merah sebagai harapan memperoleh keberanian menghadapi musim dingin. Lalu hijau simbol kebahagiaan dan putih bermakna hati yang bersih. Lalu manis gula Jawa adalah hasil dari pengharapan, " tuturnya.

Sementara filosofi bola-bola bulat pada ronde, menurut Jongki merupakan simbol keakraban yang dalam istilah Jawa disebut dengan guyub.

"Makanya tangyuan atau wedang ronde menjadi salah satu sajian ketika Cap Go Meh, yaitu waktu berkumpulnya seluruh anggota keluarga setelah merayakan tahun baru Imlek. Termasuk juga festival Yuanxiao atau festival lampion atau festival wedang ronde jika di Indonesia," tuturnya.

Sejarah panjang

Jongki menuturkan, munculnya ronde di Indonesia tak lepas dari datangnya bangsawan China menjelajahi nusantara pada sekitar 400 Sebelum Masehi (SM). Sejak saat itu, mereka pun  memperkenalkan semua kebudayaan termasuk ciri khas masakannya kepada orang-orang pribumi.

Proses alkulturasi budaya China dan Indonesia pun terjadi. Di Pulau Jawa banyak orang China yang berbaur dengan orang pribumi sampai menjalin tali pernikahan.

"Ada satu kisah ketika Raja Mangkunegara yang dahulu sempat memiliki selir berdarah China. Inilah sebuah keberhasilan orang China dalam berbaur dengan penduduk lokal," katanya. (ase)