Perang Kamang, Pertempuran Hidup-Mati Selain Padri

Makam Pahlawan Perang Kamang di kawasan Jorong Limo Kampuang, Nagari Kamang Hilia, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Andri Mardiansyah

VIVA.co.id – Sejarah Sumatera Barat melawan penjajah Belanda tak hanya Perang Padri. Perlawanan lain yang tak kalah mematikan ialah Perang Kamang, perang menentang penerapan pajak oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada masyarakat Minangkabau pada 1908.

Perang itu meletus di Kamang, sekira 16 kilometer dari Fort de Kock atau sekarang dikenal dengan kota Bukittinggi, bekas basis kekuatan Tuanku Nan Renceh pada masa Perang Padri.

Masyarakat Minangkabau, terutama yang berprofesi petani pada masa itu, melancarkan protes kepada pemerintah Hindia Belanda, karena merasa keberatan dengan kebijakan penerapan pajak di seluruh wilayah Sumatera Babrat. Pajak itu untuk tanah serta pajak atas hewan ternak.

Gelombang protes itu terus bergejolak. Dipelopori Syekh Haji Abdul Manan, pada 15 hingga 16 Juni 1908, perang bersenjata pun tak terelakkan. Masyarakat setempat terus melawan. Abdul Manan, sang pemimpin perang, tewas. Sementara anaknya, Haji Ahmad Marzuki, ditangkap oleh tentara Belanda.

Seratus orang Kamang gugur dalam Perang Kamang itu. Sedangkan dari pihak tentara kolonial sebanyak 12 orang tewas dan 20 orang luka-luka.

Makam Pahlawan

Sebanyak 71 pejuang yang gugur dalam peperangan Kamang atau disebut juga Perang Belasting itu dimakamkan di kompleks Makam Pahlawan Perang Kamang di kawasan Jorong Limo Kampuang, Nagari Kamang Hilia, Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Karena bernilai historis cukup tinggi dan menghargai para pejuang yang gugur, pada 15 Juni 1963, Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat kala itu, meresmikan Makam Pahlawan Perang Kamang. Sebagian besar berasal dari Agam, Solok, Sijunjung, dan Padang Panjang.

Mereka yang bersemayam di sana, di antaranya M Saleh, Datuk Rajo Panghulu, Datuk Tan Basa, Datuk S Marajo, Siapo Kayo Labiah, Datuak Palindih, Daud Bujang Ibrahim, Malin Manangah, Malin Mancayo, Mangkuto, dan Sutan Majo Nan Gadang.

Kompleks makam itu berbentuk empat persegi, membujur arah barat-timur dengan ukuran panjang 51 meter, lebar sisi timur 21 meter, dan lebar sisi barat 13 meter.

Kompleks makam sudah dipagar beton. Pintu masuk ke arah kompleks berada di sisi utara berhadapan dengan jalan di depannya. Pada kompleks makam itu juga dijumpai beberapa buah makam dengan nisan dari menhir.

Pada bagian depan posisi tanah agak tinggi dari lainnya juga terdapat 14 makam. Makam dan nisan paling besar jiratnya berundak dari bahan batu kali yang direkat dengan semen. Makam Pahlawan Perang Kamang memiliki nisan berupa menhir polos tanpa hiasan.

Menurut Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat, Nurmatias, komplek Makam Pahlawan Perang Kamang ditetapkan sebagai cagar budaya pada 2007. Penetapan berdasarkan kajian tim tim ahli cagar budaya dan sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010.

Nurmatias berharap, komplek Makam Pahlawan Perang Kamang itu dapat dijaga dengan baik. Pemerintah setempat dan masyarakat harus sama-sama menjaga agar kelestarian peninggalan sejarah itu tidak rusak. (ren)