Cara Negara Lain Menjaga Warisan
- VIVA/Ezra Natalyn Sihite
VIVA – “Situs sejarah perlu lestari bukan sekadar melindungi peninggalan masa lalu. Namun dalam rangka menyiapkan wadah bagi komunitas masa kini untuk hidup berkualitas dan berbudaya."
Kira-kira begitu kutipan bahan presentasi sebuah riset penelitian dari institut kebijakan publik GRIPS mengait cagar budaya di Jepang. Di mata dunia, Jepang terkenal dengan kuatnya tradisi, pula kekayaan peninggalan budaya yang lestari. Melewati masa yang turun naik: perang-damai, bencana-aman hingga krisis-stabil, Jepang tak mengabaikan baik dan buruk jejak masa lalu bangsanya.
Cuaca berangin. Udara dingin terasa menyentuh kulit wajah sekali pun matahari bersinar cerah sebelum memasuki musim semi di Kumamoto. Tak lama setelah berjalan sebentar, dari balik ranting-ranting pohon yang masih botak pada saat itu, tampak pemandangan yang menakjubkan.
Bangunan kokoh kastil peninggalan masa lalu berdiri tak jauh dari tempat VIVA berdiri, terlihat agung dan teguh di atas pondasi batu. Dari sudut tertentu, dengan berlatar langit biru jernih, tampak segaris tiga bangunan megah dengan arsitektur senada. Rombongan akhirnya tiba di kompleks Kastil Kumamoto.
Sedikit terkejut, setelah melipat jarak dan melihat lebih dekat, pondasi dan sebagian tembok batu penyambung kastil-kastil utama rupanya ambruk. Pondasi satu bangunan dengan dua kastil lainnya runtuh. Rupanya diguncang gempa kuat pada April 2016. Gempa besar kala itu mengguncang beruntun, terjadi hanya berselang dua hari dengan kekuatan masing-masing 6,6 dan 7,3 Skala Richter.
Bencana itu sontak memukul kehidupan masyarakat Jepang khususnya di Prefektur Kumamoto.
Saat peserta program jurnalis asing berkunjung pada 2017 lalu, pemerintah setempat mengakui bahwa gempa Kumamoto benar-benar menghempas prefekturnya. Mereka harus berjuang keras agar ekonominya tak kolaps. Patut ditiru, belum genap setahun, mereka bergegas, mengeluarkan daya upaya agar Kumamoto bangkit lagi. Termasuk di antaranya membenahi situs-situs sejarah dan budaya yang hancur karena gempa.
"Secara bertahap, revitalisasi dan pembangunan terus dilakukan di wilayah kami," Kata Wali Kota Takamori, Daisei Kasamura saat ditemui VIVA dan beberapa jurnalis asing yang memantau geliat prefektur pascagempa beberapa waktu lalu.
Bangunan Kastil Kumamoto yang ada di Jepang. (VIVA/Ezra Natalyn Sihite)
Takamori merupakan salah satu wilayah di bagian timur Kumamoto yang diketahui terdampak cukup besar akibat gempa beruntun tahun 2016 itu.
Kembali ke situs sejarah dan budaya, akibat kerusakan yang disebabkan gempa, kastil Kumamoto tengah dipugar. Oleh karena itu, meski para turis masih bisa menyaksikan lambang kebesaran Lord Kiyomasa Kato tersebut dari area luar, namun pengunjung tak boleh masuk ke halaman istana maupun ke dalam kastil. Istana yang dibangun pada 1562-1611 didirikan dengan gaya strategi pertahanan kuat masih harus dipreservasi.
Otoritas menyatakan, butuh setidaknya 20 tahun untuk membangun kembali situs tersebut hingga siap dikunjungi. Sebegitu panjang waktu yang dibutuhkan untuk melakukan revitalisasi tak lain karena kastil Kumamoto direnovasi dengan menggunakan teknik konstruksi tradisional. Berikut harus tahan gempa. Para turis yang ingin memasuki kastil indah itu harus menunggu dan boleh memasukinya tahun 2037 mendatang.
Yang menarik, pembangunan kembali kastil Kumamoto dibiayai dengan anggaran yang multisumber. Meskipun sebagian besar didapatkan dari pemerintah pusat dan pemerintah lokal, namun pengelola juga membuka situs yang diperuntukkan bagi umum. Siapa saja boleh menyumbang dana pembangunan kembali. Mereka sangat gencar mempromosikan pembiayaan cagar budaya ini.
Jumlah anggaran yang sangat besar dan diperkirakan bisa berubah dari waktu ke waktu membuat pemerintah lokal dan Kementerian Kebudayaan Jepang gencar mempromosikan perbaikan situs megah itu. Kumamoto dengan tangan terbuka menerima sumbangan dari orang asing yang mengunjungi wilayahnya, bahkan juga dari mereka yang belum pernah secara langsung menyaksikan keindahan kastil itu.
Satu Setengah Abad
Sejarah mencatat, perlindungan warisan budaya dan kekayaan nasional di Jepang adalah sebuah perjalanan panjang. Lebih dari 150 tahun sudah pelestarian situs dan warisan kekayaan budaya sudah menjadi isu di negara ini. Itu sebabnya, berbagai monumen yang usianya bahkan sudah beribu tahun masih bisa disaksikan oleh generasi masa kini.
Wacana perlindungan terhadap kekayaan budaya sudah mengemuka pada aturan Proclamation1871 yang menyebutkan bahwa bangunan dan barang-barang bersejarah dan bernilai seni budaya di Jepang harus disimpan dan didokumentasikan. Pada saat itu setidaknya ada lebih dari 200 ribu item termasuk situs bangunan yang masuk dalam daftar proteksi.
Menyusul adanya aturan perlindungan peninggalan sejarah dan budaya itu dibangun dua museum yang paling awal ada di negara tersebut, yakni Museum Nasional Nara pada tahun 1895 dan Museum Nasional Kyoto tahun 1897.
Bendera negara Jepang berkibar di salah satu bangunan di Tokyo, Jepang. (REUTERS/Toru Hanai)
Namun demikian pada saat Perang Dunia II dan pascaperang tersebut, Jepang disebutkan sempat abai atas revitalisasi dan perlindungan peninggalan sejarah budaya lantaran harus mengurusi ekonomi yang terpuruk. Selain itu, masyarakat secara psikologis dan sosial juga terpuruk akibat perang.
Tak ayal, ada beberapa momen yang disebut menyadarkan kembali masyarakat negara ini soal pentingnya menjaga peninggalan ibarat harta yang diwariskan generasi awal mereka.
Pada tahun 1949, kuil tertua yang terbuat dari kayu yakni kuil Horyu-ji terbakar. Kebakaran itu menghancurkan lukisan dinding yang disebut sangat indah terbentang di gedung yang diperuntukkan bagi Buddha. Insiden ini kemudian memicu bangkitnya sentimen budaya dan pemerintah Jepang mengupayakan pembenahan dengan mengikuti Undang Undang Proteksi atas Benda Budaya atau LPCP yang diundangkan sejak tahun 1950. Pada akhirnya setelah Horyu-ji direvitalisasi, kuil itu kini masuk dalam daftar kekayaan budaya dunia.
LPCP merupakan Undang Undang Cagar Budaya Jepang yang masih berlaku hingga saat ini. Paper ilmiah karya Emiko Kakiuchi berjudul “Cultural Heritage Protection System in Japan: Current Issues and Prospects for the Future” yang diterbitkan National Graduate Institute for Policy Studies tahun 2014 memuat sejarah aturan dan UU yang diadopsi Jepang selama 150 tahun terakhir hingga muncul LPCP yang dianggap paling relevan hingga saat ini.
Sedikitnya ada tujuh jenis undang-undang yang pernah dibuat Jepang mulai dari masa Restorasi Meiji hingga saat ini untuk melindungi dan mengurusi cagar budaya di negara tersebut.
1. The Proclamation for the Protection of Antiques and Old Properties (1871-1897)
2. The Ancient Shrines and Temples Preservation Law (1897-1929)
3. The Law for the Preservation of Historic Sites, Places of Scenic Beauty and Natural Moments (1919-1950)
4. The National Treasures Preservation Law (1929-1950)
5. The Law Concerning the Preservation of Important Objects of Arts (1933-1950)
6. The Law for the Protection of Cultural Properties (LPCP) 1950.
Aspek Kebahagiaan
Kuatnya aturan proteksi atas cagar budaya di Jepang membuat objek-objek yang masuk ke dalamnya juga lebih rinci. Tak hanya mengatur perlindungan produk budaya berbentuk fisik (tangible), kekayaan budaya nonfisik (intangible) tak kalah diperhatikan. Bahkan lokasi-lokasi atau area yang dianggap menonjol pada masa lalu juga dipreservasi menjadi kota-kota tua yang jadi incaran destinasi para turis yang menyambangi negara ini.
Melalui LPCP dirincikan objek-objek yang masuk dalam kekayaan nasional dan harus dilindungi yaitu:
Di Undang Undang Tahun 1950, Kekayaan Budaya mencakup:
1. Kekayaan Budaya Material (benda)
2. Kekayaan Budaya Immaterial (produk budaya dan tradisi tak berbentuk benda)
3. Monumen atau bangunan.
Direvisi agar lebih rinci tahun 2013 hingga mencakup:
1. Kekayaan Budaya Material (benda)
2. Kekayaan Budaya Immaterial (produk budaya dan tradisi tak berbentuk benda)
3. Kekayaan Budaya Tradisi
4. Monumen atau bangunan
5. Lanskap budaya
6. Kelompok bangunan tradisional ditambah kekayaan budaya yang terkubur.
Tingginya proteksi pemerintah Jepang terhadap cagar budayanya terbukti dengan rincinya aturan di negara itu mengenai revitalisasi, kepemilikan, pengiriman dan boleh tidaknya objek tertentu diperjualbelikan.
Namun satu hal yang penting dan tak boleh dinafikan, bahwa sebenarnya kepedulian itu terwujud dengan andil masyarakat.
Pemerintah Jepang melalui Lembaga Survei Nasional dari masa ke masa sengaja membuat survei untuk mengetahui seberapa penting aspek material (contoh: ekonomi) dibandingkan aspek nonmaterial termasuk sejarah budaya bagi warganya.
Aktivitas masyarakat di kawasan pusat perbelanjaan di Dotonbori, Osaka, Jepang. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Hasilnya cukup mengejutkan. Hasil survei terus menunjukkan bahwa angka statistic masyarakat yang mementingkan hal nonmaterial sebagai aspek kebahagiaan terus meningkat. Survei dilakukan oleh Lembagai Nasional Survei Jepang sejak tahun 1971 secara berkala hingga tahun 2010.
Persepsi perlunya hal nonmaterial sebagai aspek hidup untuk bahagia terus meningkat. Dalam ukuran angka 0 hingga 100 persen, awal tahun 1970-an, nilai kepuasaan terhadap material 40 persen dan masih berada di atas hal nonmaterial yaitu 38 hingga 39 persen.
Menjelang tahun 1980, survei menunjukkan bahwa kepuasaan material dan nonmaterial dianggap sama penting yaitu oleh masing-masing 40 hingga 45 persen rakyat. Namun setelah tahun 1980 hingga seterusnya sampai survei tahun 2010 ditemukan bahwa warga Jepang memilih hal nonmaterial sebagai aspek kepuasan dalam hidup.
Pada tahun 2005 misalnya, survei menunjukkan bahwa warga Jepang hingga 60 persen menilai bahwa kepuasaan hal nonmaterial lebih penting. Sementara hanya 35 persen yang menganggap hal material lebih penting. Tahun 2010, persepsi warga Jepang bahwa hal nonmaterial lebih penting naik lagi dan mencapai angka sekitar 63 persen. Sementara yang memilih aspek material hanya sekitar 35 persen.
Rumit dan Mahal
Tak hanya Jepang negara yang patut dicontoh dalam hal proteksi cagar budaya. Italia, salah satu negara yang dianggap paling "nyeni" di benua Eropa juga bisa menjadi referensi. Italia dengan peninggalan budaya Romawi memang menyimpan banyak peninggalan sejarah yang menyimpan berjuta kisah baik fakta maupun legenda.
EraRenaissance atau periode "Lahir Kembali", berkembangnya ilmu pengetahuan di Eropa pada abad ke-15 hingga ke-16 turut memengaruhi produk budaya dan seni. Peninggalan sejarah era itu ditandai antara lain kuatnya kultur dalam hal arsitektur.
Namun pemerintah Italia juga harus menghadapi tantangan terkait cagar budaya antara lain mempertahankan proteksi peninggalan budayanya atau membiarkannya tergerus zaman dengan bangunan baru lantaran anggaran pelestarian dan pemeliharaannya bukan hal yang murah.
Seorang pria melihat bangunan di Katedral Milan di Italia. (REUTERS/Jorge Silva)
Yang patut menjadi perhatian, Italia menerapkan revitalisasi bangunan peninggalan atau kuno yang dikolaborasikan dengan konsep urban. Artinya, sejumlah bangunan lama di sejumlah wilayahnya dilestarikan dengan tetap menjadikannya sebagai tempat kegiatan masyarakat maupun komunitas tanpa harus mengubah intrinsik dan filosofi bangunan tersebut.
Sayangnya untuk merevitalisasi dengan konsep seperti ini bukanlah hal yang mudah dan murah. Pakar dari Departemen Teknik Fisika Universitas La Sapienza, Roma bernama Livio Santoli mempublikasikan konsepnya mengkonservasi bangunan bersejarah.
Melalui jurnal yang ditulisnya bertajuk “Historic Buildings: Conservation, Management and Policy Issues”, ahli tersebut mengungkap detailnya revitalisasi yang harus melibatkan banyak pihak untuk mengkonservasi sebuah bangunan bersejarah yang sudah rusak.
Dia memberikan beberapa contoh bangunan bersejarah di Italia yang perlu direvitalisasi. Bangunan itu selama ini berada tak terlalu jauh dari lingkungan yang sudah menjadi perkotaan, namun sempat ditelantarkan. Di antaranya bangunan Stefano dei Ferri in Tivoli, Roma, biara S.Antonio da Padova in Tivoli Roma yang sempat dijadikan vila dan bangunan S.Francesco in Palombara Sabina di Roma.
Melalui sebuah konsep pelestarian cagar budaya yang ideal, maka bangunan-bangunan bersejarah yang ditelantarkan membutuhkan ahli multidimensi. Dengan begitu renovasi menjadi sebuah pekerjaan yang tak merusak nilai masa lalu dan berguna pada masa kini. Disebut sebuah konsep sustainable built environtment.
Ahli tersebut membuat rincian bahwa untuk membangun kembali sebuah bangunan bersejarah maka perlu andil berbagai pakar yaitu ahli konservasi dan restorasi, ahli fisika, ahli kimia, arsitek hingga kurator. Untuk itu semua memang dibutuhkan biaya besar.
Gratis Syarat Ketat
Realita mahalnya biaya pelestarian dan perawatan gedung-gedung kuno disikapi pemerintah Italia dengan gaya baru sejak tahun 2017. Italia sadar bahwa bangunan peninggalan sejarah dan budaya tetap perlu dijaga termasuk demi menarik makin banyak wisatawan yang menjadi salah satu pemasukan negaranya.
Oleh karena itu pada Mei tahun 2017, pemerintah Italia membuat sebuah kebijakan tak biasa. Badan Pertanahan dan Bangunan Negara Italia dan Kementerian Kebudayaan negara itu menyatakan akan memberikan secara gratis sejumlah situs peninggalan yang butuh revitalisasi dan renovasi.
Pemandangan kubah dari basilika Saint Peter yang ada di Roma, Italia. (REUTERS/Tony Gentile)
Dilansir Telegraph, ada 103 bangunan yang bisa diambil alih oleh perorangan, lembaga maupun komunitas.
Di antaranya bangunan kastil, biara, gedung, menara, peternakan tua, gedung sekolah dan penginapan kuno. Semua itu diberikan dengan cuma-cuma kepada penerima yang memenuhi syarat.
Untuk bisa memiliki situs sejarah dan budaya itu, calon pemilik harus bisa merenovasinya dengan biaya sendiri tanpa mengubah bentuk utama dan nilai intrinsik bangunan. Bangunan itu harus diubah menjadi fasilitas untuk pariwisata antara lain hotel, restoran maupun tempat spa.
Skema yang ditetapkan pemerintah harus diterima calon pemilik dan melanggar ketentuan termasuk merusak situs akan menyebabkan pemilik terancam sanksi berat.
"Tujuannya menjadikan bekas bangunan publik dan privat yang sudah lama telantar menjadi tempat yang layak didatangi pengunjung apakah peziarah, orang lokal, turis dan lain sebagainya," kata Roberto Reggi dari Departemen Pertahanan dan Bangunan Italia.