Santri Beroposisi sampai Perang Suci

Foto Hasyim Asy'ari yang dipajang di Tugu Proklamasi, Jakarta.
Sumber :
  • Mitra Angelia

VIVA – Suatu hari pada pertengahan September 1945, Presiden Sukarno mengutus orang kepercayaannya untuk menemui seorang ulama di sebuah pesantren bernama Tebuireng, terletak di satu dusun terpencil di selatan Jombang, Jawa Timur. Utusan itu diamanati sebuah pertanyaan maha penting untuk dimintakan jawabannya kepada sang ulama tentang apa hukum dalam Islam untuk membela Tanah Air.

Waktu itu usia Republik Indonesia belum genap sebulan. Pasukan pendudukan Jepang masih menguasai pos-pos militer, meski sebagai pihak yang kalah dalam Perang Dunia II. Pada masa yang sama santer kabar bahwa pasukan Sekutu dan Belanda atas nama Netherlands Indies Civil Administration (NICA) akan mendarat di Surabaya untuk merebut lagi Indonesia dari Jepang.

Sukarno sebagai pemimpin negara orok risau: belum satu pun negara di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan malahan terancam kembali dijajah Belanda; Proklamasi akan sia-sia. Sukarno mewanti-wanti kepada dutanya untuk sang ulama bernama Hasyim Asy’ari itu bahwa pertanyaan pentingnya ialah hukum membela Tanah Air, bukan membela Allah, bukan pula membela Islam atau membela Alquran.

Sang ulama mengerti maksud Sukarno. Tokoh terkemuka berjuluk hadratus syekh atau mahaguru itu menjawab dengan tegas, sudah terang bagi umat Islam untuk membela Tanah Air-nya dari ancaman asing.

Segera setelah itu, sebagaimana dikutip dari KH Hasyim Asy'ari; Pengabdian Seorang Kiai untuk Negeri, terbitlah fatwa berisi tiga butir maklumat: pertama, hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardu ain bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun bagi orang fakir; kedua, hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid; dan ketiga, hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

Hasyim Asy’ari lalu mengumpulkan sejumlah ulama terkemuka se-Jawa dan Madura untuk rapat darurat di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Esoknya, mengukuhkan tiga butir fatwa sebelumnya, Hasyim mengumumkan sebuah maklumat bertitel Resolusi Jihad yang berisi seruan kepada umat Islam untuk berperang mempertahankan kemerdekaan. Salah satu butir maklumatnya, mendesak pemerintah “Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat sabilillah untuk tegaknya negara Republik Indonesia merdeka dan agama Islam”.

KH Hasyim Asy’ari

Manifesto perang suci segera mengobarkan semangat perlawanan umat Islam di Jawa. Didukung oleh Tentara Keamanan Rakyat dan tentara nonreguler, Hisbullah dan Sabilillah, yang terdiri atas laskar kiai dan santri didikan Peta (Pembela Tanah Air). Arek-arek Surabaya bersama tokoh utamanya Sutomo alias Bung Tomo kian bergelora dengan seruan jihad itu, setelah terbukti pasukan Sekutu dan NICA benar-benar mendarat di Surabaya secara berangsur sejak 25 Oktober hingga 1 November 1945. 

Diawali pertempuran-pertempuran kecil, dan seorang brigadir jenderal Inggris, AWS Mallaby, tewas dalam baku tembak pada 30 Oktober. Meletuslah pertempuran besar pada 10 November 1945.

Mayor Jenderal EC Mansergh sebagai pemimpin kapal perang Sekutu memperkirakan kota Surabaya jatuh dan takluk dalam tempo tiga hari. Tetapi perkiraan itu meleset. Sejarawan Agus Sunyoto, mengutip William H Frederick, menyebut peristiwa itu sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif —yang tiga pekan di antaranya— sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia.