Teror Itu Bernama Hoax

Aksi tolak hoaks di Lhokseumawe, Aceh
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rahmad

VIVA – Mengenakan rompi tahanan oranye, Bagus Bawana Putra tampak diam terpaku. Sesekali senyum tipisnya tersungging. Tapi tidak ada sepatah kata yang terucap dari mulutnya. Ia menundukkan kepala, menghindari jepretan kamera wartawan.

Pagi itu, Rabu 9 Januari 2019 sekitar pukul 10.00 WIB, sosok Bagus ditampilkan ke publik sebagai terduga pelaku penyebaran informasi bohong alias hoax. Pria berusia sekitar 40 tahun itu dua hari sebelumnya diciduk tim Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim di Sragen, Jawa Tengah.

Kasus yang menyeretnya tidak main-main. Apalagi terjadi hanya tiga bulan menjelang pemungutan suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019. Ia diduga sebagai kreator dan buzzer hoax tujuh kontainer surat suara sudah tercoblos di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dialah yang diduga memposting narasi, melakukan perekaman, sampai menyebarkan hoax lewat akun Twitternya dan WhatsApp Grup yang diikutinya. 'Dosa' lainnya, ia diduga bagian dari tim relawan salah satu calon presiden dan wakil presiden.

Akibat perbuatannya, Bagus dijerat Pasal 14 ayat 1 dan 2 juncto Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun bui. 

Namun, ia tak sendirian. Ada empat terduga pelaku lain yang sudah dibekuk polisi. Polisi sejauh ini juga masih mendalami dugaan keterlibatan pihak lain terkait dalang dan kemungkinan penyandang dana dalam kasus hoax 7 kontainer surat suara.

"Tolong berikan kesempatan kami waktu. Kalau sudah kuat baru disampaikan. Kita akan tuntaskan setuntas-tuntasnya kasus ini," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 11 Januari 2019.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (tengah) bersama Direktur Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pol Rachmad Wibowo (kiri), Kasubdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Pol Dani Kustoni (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan mengenai berita hoax 7 kontainer surat suara tercoblos di Divisi Humas, Mabes Polri, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Isu tujuh kontainer surat suara tercoblos merupakan rentetan hoax yang muncul jelang pemilu serentak pada 17 April 2019. Rangkaian pemilu serentak 2019 terdiri dari pemilihan legislatif  dan pilpres. 

Memasuki tahapan kampanye, hoax memang kian merajalela. Kasus penganiayaan aktivis Ratna Sarumpaet sampai Jokowi jual Pulau Jawa dan Sumatera ke China pernah menyedot perhatian publik. Bahkan, kasus penganiayaan Ratna berujung proses hukum terhadap aktivis berusia 69 tahun tersebut.

Ini baru tiga kasus. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi di tahun 2018 mencatat ada sekitar 800.000 konten hoax yang menyebar lewat berbagai platform media sosial. Bayangkan ratusan ribu! Sementara riset yang dilakukan DailySocial di tahun yang sama menunjukkan betapa seriusnya kasus sebaran berita palsu ini. Dalam riset itu diketahui sebanyak 85,25 persen hoax ditemukan di Facebook, disusul WhatsApp sebanyak 56,55 persen, dan Instagram 29,48 persen.

Parahnya lagi, sebagian besar responden 44,19 persen tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax. Dan, 51,03 persen dari responden memilih berdiam diri dan tidak percaya dengan informasi ketika menemui hoax.

Maraknya hoax di tahun politik menjadi fenomena tersendiri. Penyebaran yang berseliweran, namun sistematis dengan sasaran menyerang kontestan pemilu menjadi tujuannya. 

"Saya menilai itu memang sangat sistematis. Baik itu temanya, penyebarannya, itu sangat sistematis," kata pakar komunikasi Universitas Gadjah Mada, Kuskridho Ambardi kepada VIVA, Kamis, 10 Januari 2019.

Ada semacam anggapan yang dipercaya informasi mengkritik sampai menyerang lawan itu bisa membentuk opini serta sikap suara pemilih. Anggapan ini justru menjadi keliru bila informasi yang tak disertai data benar sehingga menjadi hoax.

Namun, dalam politik, kadang hoax seolah menjadi strategi lumrah untuk menyerang lawan. Menurut Ambardi, strategi hoax juga sengaja ditebar demi membidik suara tambahan. Karena itu, pola penyebarannya pun berubah bila dulu dengan lembaran atau pamflet maka kini gencar mengandalkan media soial.

"Ada perubahan pola penyebaran. Itu untuk mengalihkan pilihan. Karena semua ingin menang, ingin menambah pemilih dengan cara keluar dari 'sarangnya' untuk menambah pemilih dari luar," tutur Ambardi.

Bikin Takut yang Efektif