Korupsi (Belum) Mati

Penyidik KPK menunjukkan barang bukti suap di Gedung KPK
Sumber :
  • ANTARA/Rosa Panggabean

VIVA – Lalu lintas siang itu bising. Hilir mudik dan klakson kendaraan memekakkan telinga. Kendaraan saling salip memecah kemacetan. Asap kendaraan yang membubung semakin menambah sesaknya udara di tengah kota.
 
Ya, Jalan Ahmad Yani, Kota pekanbaru, Riau, memang tak pernah sepi dari kebisingan. Sebab, jalan yang bersimpangan dengan Jalan Riau merupakan salah satu nadi lalu lintas kendaraan di Kota Bertuah itu. 

Di ujung jalan, berdiri kokoh sebuah bangunan tugu menjulang di tengah kota. Lokasinya berhadapan langsung dengan rumah dinas wali kota. Cuma beberapa meter dari kantor gubernur.

Sekilas, tugu yang didominasi warna kuning keemasan itu menyerupai keris panjang yang dikelilingi liukan-liukan api. Di sekelilingnya, menempel ornamen-ornamen khas Melayu dengan latar warna kuning, merah, dan hijau.

Berdiri di dalam Kawasan Taman Ruang Terbuka Hijau (RTH) Tunjuk Ajar Integritas, tugu itu diberi nama 'Tugu Antikorupsi'. Pemerintah setempat membangun tugu ini sebagai bentuk lambang komitmen Pemerintah Provinsi Riau untuk melawan dan tidak melakukan korupsi. (Baca juga: Rupa-rupa Jurus Lawan KPK)

Maklum, Provinsi Riau termasuk dalam enam daerah di Indonesia yang dinilai rawan terjadinya tindak pidana korupsi versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2016. Indikatornya jelas, tiga gubernurnya tercatat 'hattrick', berturut-turut masuk bui gara-gara terima suap dan korupsi.

Tugu Antikorupsi yang ada di Riau. (VIVA/Ali Azumar)

Tugu ini diresmikan persis setahun lalu, dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Internasional (HAKI) tahun 2016. Acaranya dihadiri Ketua KPK Agus Rahardjo, Jaksa Agung M Prasetyo, Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman, dan beberapa petinggi negara. 

Kala itu, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, tugu ini merupakan simbol komitmen integritas, sekaligus tugu pengingat kepada para pejabat negara agar tidak menyalahgunakan jabatannya untuk korupsi. 

Tapi siapa sangka, tugu dan RTH 'Tunjuk Ajar Integritas' yang menghabiskan anggaran sebesar Rp8 miliar itu, tak luput dari sasaran korupsi pejabat di Riau. Kejaksaan mengendus ada kerugian negara sekitar Rp1,2 miliar lebih dari proyek tersebut. Pembangunan tugunya menghabiskan anggaran Rp450 juta. (Baca juga: Megakorupsi di Tangan KPK)

Kejaksaan Tinggi Riau sudah menetapkan 18 orang sebagai tersangka korupsi proyek Tugu Antikorupsi. Sebanyak 13 orang di antaranya adalah oknum pejabat di Pemprov Riau, sedangkan lima orang tersangka lain dari pihak swasta.

Korupsi Tugu Antikorupsi di Riau adalah ironi. Tugu yang awalnya sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi yang menggurita di Riau, malah 'melahirkan' koruptor baru. Tikus-tikus berdasi itu seolah tak pernah kehabisan cara menggerogoti duit rakyat untuk syahwat pribadinya.

Kini, tepat setahun sejak Tugu Antikorupsi itu berdiri (tepat di Hari Antikorupsi 9 Desember), korupsi masih belum 'minggat' dari Bumi Lancang Kuning. Miris, korupsi berjamaah dari proyek integritas itu hanya satu dari sekian banyaknya kasus-kasus korupsi yang tengah diusut aparat penegak hukum di Indonesia.

Bergerak Lambat

Indeks Persepsi Korupsi (CPI) terakhir dirilis Transparansi Internasional (TI) awal 2017. Laporan tahunan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2016 itu menunjukkan tingkat korupsi di 176 negara. 

Lantas, dengan masih masifnya perilaku korupsi di Tanah Air, di manakah posisi Indonesia?

Indeks Persepsi Korupsi TI itu menempatkan Indonesia di peringkat ke 90 dengan skor 37. Secara skor, RI memang mengalami kenaikan satu poin, tetapi dari sisi rating terjadi penurunan dua tingkat.

Indeks Persepsi Korupsi TI ini didasarkan pada survei dan laporan tentang pandangan pebisnis dan pakar pemerintah terhadap korupsi di sektor publik. Indeks itu menggunakan skala 0–100, di mana 0 adalah skor untuk negara dengan tingkat korupsi terburuk dan 100 untuk negara yang paling bersih dari korupsi. 

Di ASEAN, CPI Indonesia masih lebih baik jika dibandingkan Filipina dengan angka 35, Thailand 35, dan Vietnam 33. Tapi, Indonesia harus mengakui masih berada di bawah Malaysia dengan angka 49 dan Singapura dengan skor paling baik persepsi korupsinya, dengan 84 poin. Singapura termasuk dalam peringkat 7 besar terbaik dunia.

Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko, mengatakan, masih rendahnya skor CPI Indonesia dipengaruhi oleh belum efektifnya reformasi birokrasi di pemerintah pusat maupun daerah, dan belum ada langkah serius dari kalangan swasta untuk membangun sistem pencegahan korupsi di dalam perusahaannya.

"Korupsi di Indonesia masih belum menjadi tindakan yang berisiko tinggi bagi pelakunya. Atau bahkan masih memberikan harapan bagi mereka yang ingin cepat kaya," kata Danang kepada VIVA, Rabu 6 Desember 2017.

Kendati demikian, Danang menyebutkan dari segi jumlah dan bobot kasus yang ditangani, sudah banyak pencapaian dari segi penindakan, terutama di KPK. Ukurannya adalah banyaknya pejabat tinggi yang diseret ke pengadilan dan juga aset-aset hasil korupsi yang bisa dikembalikan ke negara.

"Tugas KPK yang harus dioptimalkan lagi adalah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian dan kejaksaan," tuturnya.

"Ini memang tidak mudah karena dukungan kelembagaan KPK yang belum memadai dan masih kurangnya kerja sama dari pihak Polri maupun kejaksaan dalam mendukung tugas KPK itu," paparnya.

Faktor lain dari sulitnya memberantas korupsi di Indonesia, lanjut Danang, adalah karena pemerintah belum mampu menyentuh lembaga politik seperti partai politik dan DPR. "Saatnya parpol dan DPR direformasi. Ini problem mendasar dari korupsi kita," ujarnya.

Ketua KPK Agus Raharjo (kanan) didampingi Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Ketua KPK Agus Rahardjo membantah pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan lambat atau bahkan disebut jalan di tempat. Menurut dia, indikator pemberantasan korupsi di Indonesia bergerak adalah melalui indeks terkait pemberantasan korupsi Indonesia yang semakin meningkat peringkatnya.
 
Ia menyebutkan Transparency International sebagai lembaga survei internasional yang dianggap memiliki data paling valid terhadap indeks persepsi korupsi dunia, menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan, meski tidak signifikan.

Setidaknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) yang dirilis TI tahun 2016, skor IPK Indonesia naik dari sebelumnya 36 menjadi 37 poin dan menempati urutan 90 dari 176 negara yang diukur.

Agus mengakui Indonesia masih berada di bawah Malaysia dengan angka 49 dan Singapura yang paling baik persepsi korupsinya, dengan rata-rata 80 hingga 90 poin. Tak heran, jika Singapura selalu masuk ke dalam 10 besar negara dengan indeks persepsi korupsi terbaik di dunia.

"Mari kita lihat Indonesia. Indonesia yang dulu paling buncit, paling bawah, hari ini kita saksikan sudah 37," tuturnya.

"Jadi kalau kita lihat di ASEAN, tinggal dua negara yang di atas kita, yaitu Singapura yang terlalu jauh, pasti perlu waktu lama kita kejar. Kemudian, Malaysia yang tak meningkat malah turun, Filipina kita salip, Thailand kita salip. Bahkan Vietnam masih di 33," kata Agus Rahardjo beberapa waktu lalu.

Agus menegaskan, tugas pemberantasan korupsi bukan semata oleh KPK, tapi semua elemen bangsa bertanggung jawab melenyapkan korupsi dari Bumi Pertiwi. Dengan survei CPI, Indonesia yang naik di angka 37, menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan.

"Itu kerja kita semua mencoba perbaiki bangsa ini. Walau akselerasinya tak secepat yang kita inginkan. Saya harapkan bergandengan tangan dengan semua usaha dan kerja kita," terang Agus.

Efek Jera

Tak dipungkiri, mengguritanya praktik korupsi di Tanah Air dinilai karena hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor tidak memberikan efek jera. Dari kacamata sosial, koruptor masih mendapatkan tempat 'terhormat' di masyarakat. 

Tak sedikit, mantan terpidana korupsi justru bisa terpilih lagi dalam suatu proses politik.

"Efek jera mungkin efektif jika ada perampasan aset serta menyeret pihak-pihak yang ikut menikmati hasil korupsi," kata Kordinator Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri, Kamis, 7 Desember 2017.

Febri mengatakan, korupsi sebenarnya berakar di politik. Hingga saat ini pun, sumber masalah itu dia nilai belum bisa diubah oleh penegak hukum, baik melalui pencegahan maupun efek jera penindakannya.

Menurut dia, oligarki elite menguasai pengelolaan negara dengan mengarahkan sumber daya negara pada kelompok bisnis dan politiknya. 

"Salah satu pilar oligarki elite mendapat kekuasaan adalah melalui elektoral. Mereka menggunakan semua sumber daya yang ada untuk menguasai parlemen dan jabatan strategis di pemerintahan," ujarnya. 

Aspek elektoral juga dinilai bermasalah. Pemilih yang notabene korban korupsi tetap memilih partai politik dan caleg atau kandidat kepala daerah yang korup. Hal ini yang dianggap Febri kurang mendapat perhatian dalam strategi pencegahan korupsi. 

Di sisi lain, dia melanjutkan, biaya politik yang mahal dalam proses elektoral, birokrasi yang masih korup, sektor bisnis yang masih terbiasa mendapatkan keuntungan dan keistimewaan dari pengelolaan keuangan negara atau sumber daya negara lainnya, turut menyuburkan praktik korupsi.

Selain itu, Febri menyebut, akuntabilitas pengelolaan keuangan negara masih buruk serta penyelewengan kewenangan oleh penyelenggara negara dan birokrasi masih banyak terjadi.

"Strategi pencegahan korupsi harus bisa memberikan edukasi antikorupsi pada rakyat, serta pilihan politiknya dalam berbagai ajang elektoral," kata Febri.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang saat berada di Jakarta. (VIVA/Ikhwan Yanuar)

Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang tak menampik masih tumbuh suburnya praktik korupsi di Indonesia. Meskipun dari sisi pencegahan, KPK telah berupaya menjangkau seluruh provinsi, mengawal pengelolaan keuangan, dan pemasukan negara.

"Ada sejumlah saran perbaikan disampaikan, tapi kalau juga transaksionalnya muncul dan negara rugi, maka dari situ KPK mencarinya. Apakah ada kick back-nya? Kalau kami bisa buktikan itu, proses berikutnya tentu penindakan," kata Saut di Jakarta, 6 Desember 2017.

Saut pun mengaminkan bahwa kebanyakan pelaku korupsi itu erat kaitannya dengan politik. Umumnya, kata dia, pelaku tidak berdiri sendiri. 

Selain melibatkan staf aparatur sipil negara, para pelaku ini juga melibatkan pihak swasta yang tak jarang bertindak sebagai kepanjangan tangan si oknum pejabat.

Analisis lain menyebutkan, beragam kasus suap maupun korupsi semakin kompleks manakala para oknum pejabat negara itu diikat oleh perjanjian gelap di masa pencalonan (elektoral), yang membuat mereka sulit keluar dari jeratan transaksional politik.

"Kalau sudah demikian, mau pengawasan apa saja akan gagal, karena ruang gelap transaksional itu bisa terjadi kapan saja, di mana saja. KPK juga kan tidak 24 jam di tengah-tengah mereka," tutur mantan staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN) ini. 

Bagi KPK, lanjut Saut, selama ada bukti tentu akan dieksekusi. Tapi, yang jadi pertanyaan besar KPK, ada yang KPK tidak bisa buktikan perilaku korupsinya. Namun, sejatinya perilaku curang itu terus berlanjut. 

"Itulah, sistem pun tidak efektif apabila KPK masih sepotong-sepotong. Untuk cepat berdampak jera, KPK perlu minimal ribuan penyelidik dan penyidik," tegasnya.

Namun, menurut pakar hukum pidana, Muzakir, maraknya kasus korupsi karena yang ditangani aparat penegak hukum adalah korupsinya, bukan mencegah terjadinya korupsi. 

"Kalau gencar menangani korupsi, sumber masalah korupsi tidak ditangani, sampai kiamat pun tidak akan habis itu perkara korupsi," kata Muzakir kepada VIVA, Kamis, 7 Desember 2017.

Seharusnya, kata dia, penanganan korupsi dimulai dari penyebab tindak pidana korupsi. Berdasarkan beberapa analisis hingga hari ini, korupsi terjadi karena kegagalan menciptakan good governance. 

Ia menyatakan, kegagalan membuat good governance akan melahirkan produk tindak pidana korupsi, dan dalam bahasa pidana, korupsi merupakan limbah dari sistem yang ada. 

"Kalau mesin penyelenggaraan negara menghasilkan limbah korupsi, sementara lembaga negara menangani gegap gempita pidana korupsinya melalui proses pengadilan hukum berat dan sebagainya, adalah keliru besar tindakan seperti itu. Karena apa? Diutamakan itu mencegah terjadinya limbah," tegasnya.

Anggota Komisi III DPR, Nasir Jamil menyangsikan KPK memiliki konsep pencegahan korupsi yang baik. KPK cenderung mengedepankan penindakan melalui upaya operasi tangkap tangan (OTT). "Mereka paling senang OTT. Karena OTT enggak perlu ilmu, alat saja, tinggal sadap saja," kata Nasir di DPR, Kamis, 7 Desember 2017.

Karena itulah, politikus PKS ini menduga upaya pemberantasan korupsi yang ada tidak akan memberikan efek jera bagi pelakunya. Selama KPK tidak mengembangkan pencegahan korupsi melalui pembenahan birokrasi, dan terus sibuk melakukan OTT di daerah maupun pejabat di pusat.

"Jadi semakin sering OTT itu dilakukan, secara tidak langsung KPK ingin mengatakan bahwa kami gagal, dalam pencegahan korupsi," ujarnya.

"Jadi mereka mau bilang itu kepada publik. Cuma malu kan mereka kalau bilang secara lisan. Jadi jangan dipikir OTT itu keberhasilan. Itu justru menunjukkan bahwa KPK gagal mewujudkan pencegahan korupsi," ujarnya. 

Sinergi Penegak Hukum

Bagaimanapun, kerja-kerja pemberantasan korupsi akan efektif bilamana aparat penegak hukum, Kepolisian RI, Kejaksaan, dan KPK dibantu lembaga-lembaga terkait, memberantas korupsi hingga ke akarnya. Polri sempat menggulirkan wacana Densus Antikorupsi, untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi yang semakin marak.

Sayang, belum sempat wacana Densus Antikorupsi itu direalisasikan, keburu ditolak Presiden Joko Widodo."Ya, Bapak Presiden sudah meminta menunda dulu. tentu kami hormati," kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul di Jakarta, Kamis, 7 Desember 2017. 

Kendati demikian, Polri tetap menyinergikan upaya pemberantasan korupsi dengan aparat penegak hukum lain, termasuk KPK. Salah satunya melalui Tim Saber Pungli yang sempat menjadi gugus tugas Nawacita Presiden Jokowi, yang diklaim Martinus, berjalan cukup efektif dalam menekan praktik pungli dalam pelayanan publik.

Meski nilai penindakannya tak sebesar Tipikor, tapi Martinus menegaskan Tim Saber Pungli ini langsung pada aspek pelayanan publik. Tak hanya itu, tim juga bekerja dalam pencegahan dengan membenahi sistem dan menyederhanakan rantai birokrasi pelayanan publik. 

"Misalnya yang saya bilang, loket 4 disederhanakan jadi 1 atau 2. Tidak bertemu langsung. Itu sistem kan," terang Martinus.

Kabag Penum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Kombes Pol Martinus Sitompul. (VIVA/Dian Tami)

Kuncinya, kata Martinus, pemberantasan korupsi dengan pencegahan melalui pembenahan sistem, sosialisasi, dan menyimulasikan siapa, serta kenapa orang bisa disebut menerima suap atau korupsi. Di samping itu, upaya penindakan harus tetap dilakukan dengan tegas agar menimbulkan efek jera.

"Efek jera itu penting. Hukuman itu harus tegas. Jadi membuat orang takut korupsi. Kalau ditindak yang ditindak tegas," kata dia.

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Adi Toegarisman mengklaim ada peningkatan dalam pengusutan kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung pada 2017. Sepanjang Januari-November 2017, terjadi peningkatan jumlah kasus korupsi yang dituntaskan kejaksaan, yakni sebanyak 1.552 perkara yang sudah dieksekusi. 

Sementara itu, penyelamatan keuangan negara Rp977,27 miliar. Eksekusi uang pengganti yang telah disetor ke kas negara sebesar Rp203,4 miliar dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) bidang pidana khusus Rp293,18 miliar.

Meskipun Kejagung sudah banyak melakukan penindakan, tetap saja kasus korupsi masih marak terjadi. "Itu situasi yang sedang kami hadapi. Oleh karena itu, dalam memberantas tindak pidana korupsi, metodenya tidak hanya penindakan. Dikembangkan metode pencegahan," ujar Adi di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat 8 Desember 2017.

Fungsi pencegahan juga tengah dilakukan Kejaksaan dengan membentuk lembaga Tim Pengawal Pengaman Pemerintah dan Pembangunan (TP4) yang dibentuk Juli 2015. Tim ini akan mengawal pelaksanaan proyek-proyek pemerintah, membimbing baik dari aspek anggaran hingga pelaksanaan agar tepat sasaran.

"Kami wanti-wanti bukan tempat kolusi di situ. Ya (fungsi pencegahan). Tapi ketika pintu kerja sama sudah dibuka tapi tidak dimanfaatkan, salah mereka. Kami tidak akan pernah ragu-ragu untuk itu. Akan kami tindak dengan tegas," ujarnya.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Koordinator Unit Pelacakan Aset Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK, Irene Putri, mengatakan, berdasarkan data pengembalian kerugian negara atau asset recovery terpidana kasus korupsi di KPK dari Januari hingga Juni 2017 sekitar Rp1,9 triliun. Jumlah itu masih mungkin bertambah hingga akhir tahun ini. 

"Pemulihan keuangan negara itu berasal berbagai hal, dari denda, uang pengganti misalnya, ada juga dari barang rampasan terpidana," kata Irene Putri di Jakarta, Selasa, 5 Desember 2017.

Beberapa aset sitaan ada yang dilelang dan ada juga yang dihibahkan ke instansi pemerintah yang membutuhkan. Seperti hasil rampasan kasus Muhammad Nazaruddin yang dihibahkan ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) melalui penilaian dan persetujuan Kementerian Keuangan.? 

"Nanti kementerian tersebut dicatat kembali penerimaan negara yang dialihkan dalam pencatatan," terangnya.

Sekjen TII, Danang Trisasongko, menambahkan, langkah penindakan, terutama di KPK perlu dibarengi dengan upaya menguatkan sistem pencegahan korupsi di lembaga-lembaga negara lain, baik jajaran eksekutif, legislatif maupun judikatif. 

Keberhasilan langkah pencegahan sangat ditentukan sejauh ada dukungan dan kerja sama dari lembaga di tiga cabang kekuasaan itu. Tanggung jawab membangun sistem pencegahan korupsi itu ada di tiga cabang kekuasaan itu. 

"Tugas KPK dalam hal ini adalah mengoordinasikan, memberikan bantuan teknis, memantau, dan mengevaluasinya," ujarnya. (art)