Menjerat LGBT dan Mengandangkan Perempuan

Ilustrasi penolakan terhadap LGBT
Sumber :
  • VIVAnews/Andri Mardiansyah

VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat berancang-ancang membahas regulasi anyar yang disebut Rancangan Undang-Undang tentang Ketahanan Keluarga. Isinya ngeri-ngeri sedap: mulai ancaman pidana bagi pendonor sperma dan ovum hingga praktik sewa rahim, mengatur urusan rumah tangga dengan serangkaian tugas dan kewajiban untuk suami dan istri, sampai wajib lapor buat orang-orang yang berperilaku seks menyimpang.

Gagasan dasar perumusan RUU itu, sebagaimana diungkapkan Netty Prasetiyani, seorang dari lima anggota DPR yang mengusulkannya, untuk melindungi keluarga-keluarga demi "mewujudkan peradaban Indonesia". Ketahanan keluarga, katanya, bermuara pada ketahanan nasional. Bagus, meski terdengar klise.

Ketentuan yang lumayan disorot dalam draf RUU itu ialah perilaku seksual menyimpang. Memang tidak disebut dengan tegas istilah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), tetapi cukup terang dimaksudkan untuk mereka, atau sebagian dari mereka, misal, para penyuka sejenis. Pria dengan pria atau wanita dengan wanita. Klausul lain ialah mengklasifikasikan kewajiban-kewajiban suami dan tugas-tugas istri.

Poin-poin Kontroversial

Akhir-akhir ini memang mulai tren daerah-daerah yang mewacanakan membuat peraturan daerah yang mengatur tentang LGBT; sebagian malah sudah mengesahkan, seperti halnya Kota Pariaman di Sumatera Barat. Tidak diatur khusus dengan satu peraturan daerah melainkan disisipkan dalam Peraturan Daerah tentang Ketenteraman dan Ketertiban Umum.

Gejala semacam itu, dengan macam-macam dalih seperti demi ketahanan keluarga atau ketertiban umum, atau pencegahan penyakit menular, rupanya ditangkap oleh sebagian wakil rakyat di Senayan untuk membuat hal serupa. Tentu saja cakupannya mesti lebih luas dan, karena itu, wujudnya ialah undang-undang.

Tak seperti Peraturan Daerah Ketenteraman dan Ketertiban Umum di Pariaman dengan ancaman denda Rp1 juta bagi pelaku LGBT yang dianggap meresahkan, di dalam RUU Ketahanan Keluarga, penyuka sejenis wajib direhabilitasi. Rehabilitasi yang dimaksud, sebagaimana disebut dalam Pasal 85, meliputi "a. rehabilitasi sosial; b. rehabilitasi psikologis; c. bimbingan rohani; dan/atau d. rehabilitasi medis." 

Prosedur rehabilitasi mesti diawali dengan laporan keluarga yang anggota keluarganya mengalami perilaku seksual meyimpang. "Keluarga yang mengalami Krisis Keluarga karena penyimpangan seksual," disebut dalam Pasal 86, "wajib melaporkan anggota keluarganya kepada Badan yang menangani Ketahanan Keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan."

Ketentuan tentang urusan rumah tangga, relasi suami dengan istri, sebenarnya tak sekontroversial pasal mengenai penyimpangan seksual. Tetapi ketentuan itu disorot karena berpotensi mengungkung peran istri atau perempuan di dalam rumah. Tugas istri, disebutkan dalam Pasal 25 Ayat (3) huruf a, "wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya."

Domestikasi dan Absurd

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah menganggap Pasal 25 itu bias gender, seolah ranah perempuan hanyalah seputar domestik rumah tangga, sementara kepala keluarga tidak-boleh-tidak menjadi kewenangan laki-laki. "Itu napasnya (semangat; tujuan) domestikasi perempuan." Padahal, katanya, sekarang terjadi pergeseran nyata bahwa perempuan tak lagi hanya mengurus rumah tangga, melainkan sudah menjangkau ranah-ranah publik; tidak sedikit perempuan yang bahkan menjadi kepala daerah atau pejabat tinggi negara.

Mesti dipikirkan juga, Ai mengingatkan, perempuan-perempuan yang menjadi orangtua tunggal bagi anak-anaknya setelah diceraikan oleh suaminya. "Bagaimana bisa dipukul rata bahwa semua perempuan hanya mengurus rumah tangga dan tidak boleh menjadi kepala keluarga," katanya.

Dalam perspektif kesetaraan gender, gagasan domestikasi alias mengandangkan wanita seperti tersirat dalam Pasal 25 itu seolah pemikiran yang mundur. Selagi perempuan-perempuan sudah banyak yang berkiprah di ranah publik, DPR seolah ingin mengembalikan peran perempuan di dalam rumah saja. "Itu sudah usang—rumah tangga dianggap urusan perempuan saja; absurd," kata aktivis perempuan Tunggal Pawestri. Bahkan, dia menegaskan, "itu akan melanggengkan budaya patriarki (dominasi peran laki-laki)."

Bukan Penyimpangan Seksual

Pawestri juga tak sependapat dengan gagasan memperlakukan LGBT sebagai bagian dari penyakit dalam bentuk penyimpangan seksual dan, karena itu, mesti disembuhkan. Bahasa santunnya, sebagaimana disebut dalam Pasal 85, “direhabilitasi”, tetapi maknanya sama saja.

Di dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa, katanya, homoseksual tidak dikategorikan sebagai penyimpangan seksual, melainkan salah satu orientasi seksual. “Jadi,” gugatnya, “apa yang mau direhabilitasi?” Berbeda dengan sado-masokisme, hubungan seksual dengan menyakiti pasangan, sebagaimana disebut pula dalam Pasal 85, yang dikategorikan sebagai penyimpangan seksual.

Tetapi, menurut Pawestri, penyimpangan seksual itu pun tidak serta-merta dapat dilaporkan kepada aparatur pemerintah, apalagi kalau suami atau istri tidak menganggapnya sebagai bentuk kekerasan, melainkan bagian dari fantasi seksual yang justru menyenangkan. “Seandainya memang ada yang merasa itu kekerasan, bisa dilaporkan kepada polisi berdasarkan Undang-Undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).”

Dia mengaku memahami kalau RUU itu memang dimaksudkan untuk ketahanan keluarga. Sayangnya, katanya, konsep dasarnya salah. Keluarga yang sehat, dia berargumetasi, bukanlah keluarga yang tak enggan melapor kepada aparat jika ada anggota keluarganya yang, misalnya, mempunyai orientasi seksual berbeda, melainkan keluarga yang mampu mendiskusikan atau menyelesaikan masalah internalnya secara kekeluargaan. (EP)