Kematian Dini Ujian Nasional karena Corona

Ujian Nasional 2020 ditiadakan karena wabah virus corona (Foto ilustrasi).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/FB Anggoro

VIVA – Katakan sayonara pada Ujian Nasional. Setelah berpuluh-puluh tahun berlaku di Indonesia dan gonta-ganti nama/istilah, Ujian Nasional ditiadakan untuk selamanya. Tahun 2020 dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai akhir hayat sistem ujian sekolah berskala nasional.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sebetulnya mencanangkan penghapusan Ujian Nasional (UN) pada 2021, artinya, UN tahun 2020 menjadi yang terakhir. Namun, wabah virus corona memaksa sang Menteri mengakhiri lebih dini ujian yang selama ini menjadi horor bagi setiap murid di masa-masa akhir sekolahnya itu.

Ada 8,3 juta murid dari 106 ribu sekolah di seluruh Indonesia yang dijadwalkan menjalani UN pada 2020. Pemerintah tak mau UN justru menjadi sarana penularan Covid-19 bagi tak hanya jutaan murid itu tetapi juga keluarga mereka dan para pihak yang terlibat. Tidak ada yang lebih penting daripada keselamatan mereka sekarang.

Lupakan skenario 2021

Pemerintah sempat berkukuh dan nekat tetap menggelar UN dengan menerbitkan serangkaian protokol kesehatan untuk pencegahan penularan corona. Pemerintah tahu bahwa itu tak menghilangkan risiko, namun memaksa tetap menyelenggarakannya, “dengan ekstra kehati-hatian," sebagaimana dikatakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Totok Suprayitno waktu itu.

UN perdana untuk SMK/MAK pada 16-19 Maret secara nasional diklaim lancar, meski beberapa daerah memutuskan menundanya karena wabah corona. Itu baru awalan. Masih ada empat jenjang pendidikan lain yang menjelang: SMA/MA 30 Maret-2 April, Pendidikan Kesetaraan Program Paket C/Ulya 4-7 April, SMP/MTs 20-23 April, dan Pendidikan Kesetaraan Program Paket B/Wustha 2-4 Mei.

Pemerintah barangkali masih berharap penghapusan UN sesuai skenario—mulai 2021. Namun, wabah Covid-19 di Indonesia lebih tampak tak terkendali daripada sebaliknya—sebanyak 686 orang terinfeksi dan 55 di antaranya meninggal dunia sementara yang sembuh hanya 30 orang (data 24 Maret). Bahkan, puncak kejangkitan diperkirakan pada pertengahan April. Tak ada waktu lagi untuk menimbang-nimbang. Lupakan skenario 2021. Hapus sekalian sekarang juga.

Tetapi bukan berarti peniadaan UN itu serta-merta menghilangkan mekanisme evaluasi pembelajaran para siswa. Pemerintah memberikan dua pilihan untuk penggantinya. Pertama, Ujian Sekolah Berstandar Nasional yang diselenggarakan oleh masing-masing sekolah secara mandiri, tetapi wajib secara daring atau online—tidak diperkenankan menyelenggarakan ujian dengan tatap muka dan pengumpulan murid-murid. Kedua, kumulasi nilai para siswa dalam rapor selama lima semester terakhir.

Kedua pilihan itu diserahkan kepada masing-masing sekolah, pemerintah tak memaksakan salah satunya. Terutama bagi sekolah-sekolah yang tak mempunyai kapasitas untuk menyelenggarakan ujian secara daring, disilakan mengevaluasi pembelajaran para siswanya melalui mengakumulasi rapor selama lima semester terakhir.

Nadiem Makarim mengklaim, keputusan peniadaan lebih cepat UN itu tak memengaruhi sistem pendidikan nasional, termasuk urusan menentukan kelulusan para siswa. Toh, selama ini UN bukan lagi penentu kelulusan para siswa atau syarat seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Para lulusan SMA/sederajat bisa kuliah dengan mengikuti tiga jenis seleksi: jalur undangan, jalur reguler (SBMPTN), dan seleksi mandiri.

Begitu juga bagi para siswa yang mau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Peniadaan UN tak mengganggu Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). “Tujuh puluh persen dari penerimaan siswa sudah zonasi, jadi sudah berdasarkan area,” kata Nadiem. Selebihnya, seleksi masuk berdasarkan akumulasi nilai atau bisa juga berdasarkan prestasi akademik maupun non-akademik. “Jadi, itu penting,” dia menekankan, “bahwa pembatalan UN ini harusnya tidak berdampak pada Penerimaan Peserta Didik Baru.”

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyambut baik keputusan pemerintah meniadakan UN. Namun, mesti dipikirkan juga anggaran UN tahun 2020 yang sebagian besarnya pasti tak terpakai. Komisi menyarankan agar sebagian dari anggaran itu digunakan untuk perlindungan sekolah dari Covid-19, misal penyemprotan disinfektan secara berkala, pengadaan alat pengukur suhu badan, dan sabun pencuci tangan.

Guru tetap mengajar

Presiden Joko Widodo merestui keputusan Nadiem Makarim. Pemerintah tak mau mengorbankan 8,3 juta murid beserta keluarganya demi UN. Bagi Kepala Negara, kebijakan itu ibarat penyesuaian saja karena pemerintah memang telah merencanakan penghapusan UN, meski lebih cepat dari semestinya.

Lagi pula, menurut Presiden, pemerintah juga sudah memberlakukan kebijakan belajar di rumah dan tetap di rumah sampai wabah Covid-19 mereda pada waktunya nanti. Kebijakan itu bukan hanya untuk membatasi orang-orang berinteraksi dan memutus rantai penularan corona, melainkan juga agar kegiatan belajar-mengajar tidak terganggu. “… kebijakan ini … jangan sampai merugikan hak dari 8,3 juta siswa yang harusnya mengikuti Ujian Nasional," katanya.

Nadiem Makarim mewanti-wanti para guru agar tidak hanya memberikan tugas, apalagi yang memberatkan, kepada para murid selama masa menjaga jarak alias social distancing atau physical distancing ini. Dia mengaku menerima banyak laporan dan keluhan bahwa para guru cenderung memberikan tugas-tugas sulit dan merepotkan, alih-alih tetap berinteraksi seperti lazimnya mengajar dengan para murid namun secara virtual.

“Guru tetap harus mengajar dari rumah!” Nadiem memperingatkan. (ren)