Melawan Tuduhan Makar

Sri Bintang Pamungkas
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVA.co.id - "Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun."

"Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun."

Demikian bunyi pasal 107, ayat 1 dan 2, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aturan tersebut menjadi salah satu yang digunakan aparat kepolisian untuk menjerat sejumlah orang, aktivis, atau tokoh belakangan ini.

Selain itu, polisi juga mengaitkan dugaan perbuatan makar para tertuduh dengan pasal 110, dan pasal 87 KUHP.

Berikut bunyinya:

Pasal 110

(1) Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan menurut pasal 104, 106, 107 dan 108 diancam berdasarkan ancaman pidana dalam pasal-pasal tersebut.

(2) Pidana yang sama diterapkan terhadap orang-orang yang dengan maksud berdasarkan pasal 104, 106, dan 108, mempersiapkan atau memperlancar kejahatan:

mencoba menggerakan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan agar memberi bantuan pada waktu melakukan atau memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan;mencoba memperoleh kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan bagi diri sendiri atau orang lain;memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya berguna untuk melakukan kejahatan;mempersiapkan atau memiliki rencana untuk melaksanakan kejahatan yang bertujuan untuk diberitahukan kepada orang lain;mencoba mencegah, merintangi atau menggagalkan tindakan yang diadakan oleh pemerintah untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan.

(3) Barang-barang sebagaimana yang dimaksud dalam butir 3 ayat sebelumnya, dapat dirampas.

(4) Tidak dipidana barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum.

(5) Jika dalam salah satu hal seperti yang dimaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini, kejahatan sungguh terjadi, pidananya dapat dilipatkan dua kali.

Pasal 87

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.

Pasal 53

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan
pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai.

Pada awalnya, Jumat, 2 Desember 2016, dini hari, polisi menangkap 11 orang yaitu Ahmad Dhani, Eko Suryo Santjojo, Brigjen (Purn) TNI Adityawarman Thaha, Mayjen (Purn) TNI Kivlan Zein, Firza Huzein, R achmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Aliv Indar Al Fariz, Jamran, dan Rizal Kobar. Semua akhirnya menjadi tersangka.

Delapan orang dijerat dengan tuduhan makar, dua orang tersangka dikenakan pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan satu lainnya yakni musisi Ahmad Dhani tersangka kasus penghinaan terhadap penguasa, pasal 207 KUHP.

Kemudian, seiring berjalannya waktu, kepolisian melepas sebagian besar dari mereka. Tapi, nasib kurang beruntung harus diterima Sri Bintang.

Aktivis era reformasi 98, dan juga mantan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan itu tetap ditahan. Ia menjadi tersangka kasus makar, dan dijebloskan di Rutan Narkoba Polda Metro Jaya. Dua orang lainnya yakni Jamran, dan Rizal, yang dijerat dengan UU ITE, juga bernasib sama dengan Bintang.

Melawan Tuduhan

Dituduh melakukan makar, menjadi tersangka, dan ditahan, Bintang pun tidak tinggal diam. Pria yang saat ini masih aktif sebagai dosen di Fakultas Teknik Industri Universitas Indonesia itu melakukan perlawanan.

Bersama kuasa hukumnya, ia memulai dengan mengajukan penangguhan penahanan. Namun, upaya itu gagal. Penyidik Polda Metro Jaya tidak mengabulkannya.

"Kami belum bisa memenuhi permintaan kuasa hukum. Tidak kooperatif. Pada penangkapan juga beda dengan (tersangka) yang lain. Ada sedikit perlawanan. Kemudian diperiksa sulit. Yang lain tidak," kata Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Polisi M Iriawan, di Mapolda Metro Jaya, Selasa 6 Desember 2016.

Kubu Bintang tidak menyerah. Mereka lantas mempertimbangkan langkah hukum yang lain yaitu mengajukan praperadilan. Meskipun sebelumnya ia tidak berniat menempuh upaya tersebut dengan alasan tidak sesuai dan tidak ada di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

"Masih dibicarakan (praperadilan). Kemarin Pak Bintang masih berharap penangguhan. Sekarang mau berunding. Nanti apa pun itu kami sampaikan. Untuk kami masih pertimbangkan praperadilan," kata salah satu kuasa hukum Sri Bintang Pamungkas, Dahlia Zein, di Mapolda Metro Jaya, Rabu 7 Desember 2016.

Dahlia juga akan berkoordinasi dengan 10 orang lainnya yang ikut ditangkap pada hari yang sama dan telah ditetapkan juga sebagai tersangka. Koordinasi ini dilakukan apakah tersangka lainnya akan mengajukan praperadilan juga atau tidak.

"Coba nanti kami koordinasi dengan tim, kami membentuk tim. Tapi terbentuk lagi tim menangani setiap orang (tersangka)" katanya.

Upaya selanjutnya, Sri Bintang meminta kepolisian melakukan gelar perkara terbuka untuk membuktikan dugaan aksi makar terhadap dirinya, dan sepuluh orang lainnya yang dulu ditangkap. Sama seperti yang mereka lakukan terhadap tersangka penistaan Alquran, Basuki Tjahaja Purnama.

"Ayo kita datangkan pakar-pakar. Kalau memang bisa dibuktikan tersangka kita terima, tapi kalau tidak dilepaskan," kata Kuasa Hukum Sri Bintang yang lain, Razman Arif Nasution, di Mapolda Metro Jaya, Rabu, 7 Desember 2016.

Sri Bintang melalui sang Istri, Ernalia, menolak tuduhan makar dari kepolisian. Sesuatu yang juga diungkapkan tersangka-tersangka yang lain seperti Rachmawati, Ratna Sarumpaet, Kivlan Zen, sampai pada Ahmad Dhani.

Apa yang ia sampaikan sejauh ini masih dalam koridor konstitusi atau hukum yakni meminta pemberlakukan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli, digelarnya Sidang Istimewa MPR untuk mencabut amanat rakyat pada Jokowi dan Jusuf Kalla.

Pendirian tersebut dibenarkan oleh Pakar Hukum Tata Negara yang juga mantan Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Yusril Ihza Mahendra. Dia menilai tindakan Sri Bintang, dan para tertuduh lainnya itu masih jauh dari upaya makar.

Yusril mengatakan bahwa tindakan Sri Bintang hanyalah memberi kritik pendapat terkait jalannya pemerintahan. Hal itu menurutnya wajar dilakukan. Hak menyuarakan pendapat, termasuk pendapat bernada kritikan terhadap pemerintahan, adalah hal yang dijamin oleh konstitusi Republik Indonesia sebagai negara dengan sistem demokrasi.

Keyakinan Polisi

Polri meyakini langkah mereka menangkap 11 orang dengan tuduhan rencana makar dan pidana lainnya sudah benar. Mereka membantah tindakan itu justru membungkam demokrasi.

Mereka menilai menyampaikan pendapat berupa kritik kebijakan pemerintah dalam alam demokrasi merupakan sesuatu yang wajar. Karena kritik dan menyampaikan pendapat adalah bunga-bunga demokrasi.

Namun, mereka berdalih, harus mencegah jika ada orang atau sejumlah pihak yang berusaha melakukan pemufakatan jahat. Alasannya, perencanaan makar seperti diatur pada pasal 110, 107 KUHP, sudah bisa dipidana atau dikenakan hukuman.

"Jadi tak harus terjadi dulu. Delik (tindak pidana) formil seperti itu bukan delik materil terjadi," kata Kepala Bagian Penerangan Umum dari Divisi Humas Polri, Kombes Pol Martinus Sitompul, di Cikini, Jakarta, Sabtu, 3 Desember 2016.

Martinus menyatakan kepolisian harus menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Apabila ada tuntutan ingin mengganti pemerintahan yang sah, dia menyarankan untuk melalui pemilu yang digelar lima tahun sekali.

"Ini yang perlu kami jaga. Kalau Polri membiarkan tentu tak benar, karena itu Polri bertindak melakukan pencegahan," kata Martinus.

Tak berbeda, Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar, menyatakan bahwa perbuatan makar sebagai tindakan permufakatan atau makar dapat dikategorikan delik formil. Tindakan permufakatan itu tidak harus menjadi kenyataan dulu baru bisa dihukum.

Boy mengakui definisi makar yang digunakan Polri berbeda dengan yang selama ini dipersepsikan, yakni sebagai tindakan yang menggulingkan pemerintahan yang sah dengan cara revolusi bersenjata.

Dalam kasus ini, polisi juga mengklaim sudah memiliki bukti-bukti. Antara lain berupa video yang diunggah ke media sosial.

Kemudian adanya pemberitaan yang berisi pernyataan ajakan dan perencanaan upaya pemufakatan jahat dengan melakukan dan menempatkan mobil komando untuk mengajak orang ke Gedung DPR.

Selain itu, ditemukan juga bukti transfer dari seseorang terkait dugaan melakukan makar dengan menduduki kantor DPR dan MPR. Polri tak membeberkan soal berapa jumlah dana tersebut. Tapi mereka mengklaim cukup untuk melakukan aksi makar.

Namun, sejauh ini, dari para tersangka itu, mereka belum menentukan siapa aktor utama, siapa pendukung, dan pelaksana. Dengan kata lain, siapa pemimpin, siapa anak buah, belum diketahui. Semua tersangka dikategorikan sama.

Belum Berhenti

Upaya kepolisian menangkap terduga pelaku makar ternyata tak berhenti pada 11 orang itu. Terbaru, mereka menangkap mantan anggota DPR, Hatta Taliwang.

Hatta ditangkap di kediamannya, rusun Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada Kamis, 8 Desember 2016, sekitar pukul 01.30 WIB. Mereka menilai Hatta adalah salah seorang yang mengikuti pertemuan dengan sejumlah tokoh terkait dugaan aksi makar.

Setelah menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya, polisi akhirnya menetapkan Hatta sebagai tersangka. Tapi bukan pasal makar, dia dijerat pasal 28 ayat jo 45 ayat 2 UU no 11 tahun 2008 tentang ITE.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Raden Probowo Argo Yuwono menjelaskan alasan penangkapan. Menurut dia, Hatta telah memposting suatu tulisan di media sosial Facebook yang isinya menimbulkan permusuhan terkait suku, agama, ras dan antargolongan (sara).

"Dia menyampaikan ‘China hobi beternak penguasa’ ditulisannya dan sebagainya. Makanya kami tangkap," katanya.

Dari penangkapan tersebut, polisi menyita beberapa barang bukti seperti HP, buku-buku, dan buku catatan. Sedangkan mengenai dugaan ikut aksi makar, penyidik masih mengumpulkan bukti-bukti.

Tentu saja, aksi kepolisian itu langsung menuai protes. Kuasa Hukum Hatta Taliwang, Muhammad Syukur Mandar, mempertanyakan apa dasar penangkapan itu. Kedua, dia mempersoalkan penangkapan yang dilakukan sebelum dilayangkan surat panggilan.

"Apakah kasus ini kategori cybercrime, atau kejahatan luar biasa?" kata dia.

Padahal, apabila ada surat panggilan, Syukur memastikan akan mendampingi kliennya itu untuk memberikan keterangan. Selain itu juga, Hatta sejauh ini tidak melarikan diri dan menjalani aktivitas seperti biasanya.

Oleh karena itu, dia mempersoalkan tindakan aparat Polda Metro Jaya itu yang melakukan penangkapan pada dini hari. Ia pun berharap kepolisian bersikap persuasif dalam upaya penegakan hukum, mengedepankan asas praduga tidak bersalah, dan bukan represif yang justru bisa memicu instabilitas.

Apalagi, apa yang dituduhkan itu baru sebatas dugaan. Meskipun demikian, terlepas dari itu, dia menegaskan jika kliennya menghormati segala proses hukum dan siap menghadapi tuduhan polisi.