Hakim Konstitusi Terjerat Suap Lagi, Mengapa?
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA.co.id – Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan operasi tangkap tangan terhadap Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar. Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. KPK menuduh Patrialis menterima 20 ribu dolar Amerika Serikat dan 200 ribu dolar Singapura.
Patrialis disangka menerima pemberian atau janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait jabatannya, dalam hal ini terkait uji materi UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kamis malam, 26 Januari 2017, KPK menggelar konferensi pers ihwal operasi tangkap tangan itu. Ada Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan dan Laode M Syarif, serta Juru Bicara Febri Diansyah. Operasi tangkap tangan itu dilakukan pada Rabu malam, 25 Januari 2017.
Kabar tertangkapnya Patrialis menggemparkan Mahkamah Konstitusi. Ketua MK, Arief Hidayat, yang tengah berada di Semarang, langsung bertolak ke Jakarta. Bersama hakim konstitusi lainnya, sebuah rapat darurat digelar. Mereka menyepakati untuk melakukan pemecatan terhadap Patrialis.
Publik pun dibuat kaget. Ini merupakan kali kedua hakim konstitusi tertangkap basah menyeleweng. Belum lepas dari ingatan ketika Akil Mochtar yang ketika itu menjabat Ketua MK ditangkap KPK dalam kasus yang mirip. Bila Patrialis terkait uji materi undang-undang, Akil terkait penanganan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah.
Karena kasus ini, legitimasi putusan dan kelembagaan MK terancam. Kalangan masyarakat sipil menilai, adanya praktik suap hakim konstitusi itu membuat publik ragu terhadap putusan MK. Lebih dari itu, putusan dan kelembagaan MK terancam terdeligitimasi.
Ihwal penangkapan itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menegaskan bahwa KPK tidak pernah menarget hakim konstitusi. Adanya penangkapan itu merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat yang mengadukan potensi terjadinya tindak pidana korupsi dan KPK menindaklanjuti.
”Kami tahu bahwa MK dan KPK adalah lembaga anak kandung reformasi, maka KPK tetap menghargai Mahkamah Konstitusi. MK banyak melakukan judicial review terhadap UU KPK dan UU Tipikor sehingga KPK menjadi lembaga seperti sekarang, sering menguatkan MK,” kata Laode.
”KPK berharap apabila penyidik KPK membutuhkan tambahan informasi, kami membutuhkan kerja sama MK.”
Kronologi
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan, menjelaskan kronologi penangkapan Patrialis Akbar. Kasus bermula dari laporan adanya dugaan suap kepada hakim MK terkait judicial review atau uji materi UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
”KPK, setelah menerima laporan dari masyarakat akan terjadi tindak pidana korupsi penyelenggara negara, tim ditugaskan terjun ke lapangan hingga terjadi tangkap tangan,” kata Basaria.
11 orang tertangkap dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Rabu malam itu. Mereka adalah, PAK (Hakim MK Patrialis Akbar), BHR (swasta), NFY (Sekretaris BKR), KM (perantara) serta tujuh orang lainnya.
Basaria menjelaskan, KM yang diduga sebagai perantara antara BKR dan Patrialis pertama kali ditangkap di daerah Rawamangun. KM kemudian dibawa ke kantor BKR di daerah Sunter. BKR ini memiliki 20 perusahaan di antaranya bergerak di bidang impor daging.
”Sekitar pukul 21.30, tim bergerak kembali untuk mengamankan PAK, yang bersangkutan berada di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta dengan seorang wanita,” kata Basaria.
Laode M Syarif dan Febri Diansyah menambahkan, pusat perbelanjaan itu adalah Grand Indonesia yang berada di Jakarta Pusat.
Terkait Impor Daging
BKR sebagai pengusaha diduga memberikan suap kepada Patrialis terkait uji materi UU 41/2014, agar bisnis impor daging mereka dapat lancar. Dalam rangka pengurusan perkara tersebut, BKR melakukan pendekatan kepada Patrialis melalui KM. Untuk “bantuannya”, Patrialis dijanjikan 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura.
”Tim mengamankan dokumen pembukuan perusahaan dan uang asing tersebut,” kata Basaria.
Setelah menangkap 11 orang tersebut, KPK melakukan pemeriksaan dan kemudian menetapkan 4 orang tersangka. Patrialis Akbar dan KM ditetapkan sebagai tersangka penerima suap, sedangkan BKR dan NJF ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. “Tujuh orang lainnya yang diamankan saat ini masih berstatus sebagai saksi,” kata Basaria.
Sebagai pihak penerima, PAK dan KM disangka dengan Pasal 12 huruf C atau Pasal 11 Undang Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU nomor 20 tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat satu kesatu KUHP.
Sedangkan dari pihak pemberi BHR dan NFY disangka dengan Pasal 6 ayat huruf a atau pasal 13 Undang Undang nomor 31 sebagaimana diubah UU nomor 20 tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat satu kesatu KUHP.
Terkait ramainya dugaan ada gratifikasi seks, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, tak mengonfirmasi kebenarannya. Namun demikian, Komisioner KPK tak memberikan bantahan.
”Apakah ada gratifikasi seks, untuk sementara kami tidak mendapatkan informasi itu,” kata Laode.
Menurutnya, KPK tidak membuka identitas tujuh orang lainnya karena dianggap tidak ada hubungan dengan kasus itu. “Siapa wanita yang menemani Pak Patrialis, karena tidak ada hubungannya dengan kasus ini tidak perlu dijelaskan. Ini bukan infotainment,” katanya.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, mengklarifikasi kabar yang beredar sepanjang Kamis pagi hingga sore bahwa penangkapan Patrialis di pusat hiburan. Menurutnya, penangkapan Patrialis dilakukan di pusat perbelanjaan.
“Kami sampaikan, Ibu Basaria sudah mengatakan, tim mengamankan PAK itu ada seorang perempuan dan pihak lain di sana itu lokasinya di pusat perbelanjaan di Jakarta Pusat, Grand Indonesia,” kata Febri.
MK Kelabakan
Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, mengaku prihatin Hakim MK, Patrialis Akbar, ditangkap oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Meskipun dugaan suap itu merupakan masalah personal Patrialis, namun sebagai institusi ia meminta maaf kepada masyarakat atas ulah oknum hakim MK yang terjerat operasi tangkap tangan KPK.
“Kami, seluruh Hakim Mahkamah Konstitusi, merasa sangat prihatin dan menyesalkan peristiwa tersebut,” kata Arief Hidayat saat jumpa pers di kantornya, Kamis, 26 Januari 2017.
Yang menjadi penyesalan Arief dan para hakim MK lainnya adalah peristiwa ini terjadi di saat MK tengah berikhtiar membangun sistem yang diharapkan dapat menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta kode etik hakim konstitusi beserta seluruh jajaran MK.
“Bahkan, sejak tahun 2013 MK telah membentuk Dewan Etik yang bersifat tetap dan melaksanakan tugas secara day to day yang hasil kerjanya dapat dilihat dalam laman resmi MK,” ujarnya.
MK kemudian menggelar rapat terkait dengan tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Patrialis. Rapat yang dihadiri delapan hakim konstitusi menghasilkan sejumlah langkah terkait kasus yang menjerat Patrialis ini.
"Pertama, mendukung KPK sepenuhnya menuntaskan masalah hukum ini," kata Arief di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Keputusan kedua adalah membuka seluas-luasnya kepada KPK untuk menyelidiki kasus ini. Bahkan, jika diperlukan memeriksa hakim yang lain tanpa izin dari Presiden.
Ketiga, Mahkamah Konstitusi telah mendapat informasi dari Dewan Etik dan segera menggelar rapat etik sambil membebastugaskan Patrialis.
Banyak Catatan
Ketua Dewan Etik MK, Abdul Mukhtie Fadjar, menyebut Patrialis merupakan hakim konstitusi yang paling sering diperiksa Dewan Etik. Terlepas dari kasus suap yang kini menjerat Patrialis, Abdul Mukhtie tak menampik bahwa mantan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu memang paling sering dilaporkan ke Dewan Etik MK.
"Pak Patrialis termasuk Hakim MK paling sering diperiksa Dewan Etik," kata Abdul Mukhtie saat diwawancarai tvOne, Kamis, 26 Januari 2017.
Pemeriksaan Patrialis oleh Dewan Etik MK didasarkan pada informasi yang beredar di media massa dan laporan masyarakat yang masuk ke MK. "Beliau termasuk sering diperiksa dan diingatkan, beliau mengatakan terima kasih karena selalu diingatkan," ujarnya.
Menurut Abdul Mukhtie, pemeriksaan itu karena Patrialis dinilai sering berbicara di media. Kebiasaan itu dianggap wajar karena latar belakang Patrialis sebagai bekas politikus. Padahal, sebagai hakim Patrialis dibatasi kode etik untuk tidak sembarangan berbicara ke media, terutama terkait dengan perkara yang ditangani MK.
Selain itu, kode etik MK disebutkan bahwa hakim MK harus mengutamakan tugas pokoknya. Artinya, ketika ada persidangan, hakim MK tidak diperkenankan melakukan tugas lain seperti mengajar atau menguji mahasiswa.
Patrialis, lanjut Mukhtie, juga pernah dilaporkan oleh kelompok masyarakat terkait penanganan kasus Pilkada serentak tahun 2015. Patrialis memang pernah menangani tiga kasus sengketa pilkada serentak dan dalam satu kasus pernah menjabat ketua panel.
Dengan banyaknya laporan itu, Mukhtie sebagai Ketua Dewan Etik MK memanggil Patrialis untuk dikonfimasi mengenai laporan maupun pernyataannya di media massa. Namun, dari sekian banyak kasus yang dilaporkan, Patrialis belum pernah dijatuhi sanksi, karena laporan-laporan itu umumnya tidak disertai bukti-bukti.
"Terlepas belum dijatuhi sanksi tapi beliau paling sering diperiksa, diberi peringatan," tegasnya. (one)