Dinda, Kala Rindu Mendera Akankah Kau Tiba?

ilustrasi puisi.
Sumber :

VIVA – Dinda, jika engkau bunga, maka engkau itu bunga mawar. Ia indah, namun berduri. Tapi tahukah engkau, jika kesempurnaan mawar ada pada durinya?

Jika engkau itu bunga, maka engkau itu bunga mawar yang terletak di jurang bukan di taman. Sebab memetik mawar di jurang berpotensi mematikan. Mawar di jurang tak membutuhkan papan larangan seperti mawar di taman. Duri mawar selalu siaga melindungi kembangnya agar tak sembarang orang memetiknya.

Dinda, semua orang menghabiskan waktunya berbicara denganmu tentang kejelasan akreditasi. Tapi aku tidak. Aku ingin berbicara denganmu tentang kejelasan rasa ini atau menghabiskan waktuku di sisimu untuk berbicara tentang ruang rindu.

Dinda, ketika banyak di antara kalian sibuk untuk menyusun asuhan kebidanan dan laporan partus, tapi aku tidak. Aku justru sibuk menyusun laporan kasih sayang yang akan kupersembahkan ketika air matamu jatuh atau rasa lelah menghampirimu.

Dinda, semalam hujan itu egois sekali. Ia pergi begitu saja ketika puas mencumbui bumi ini. Aku berharap engkau tak seperti hujan di malam itu. Sebab hujan di awal Februari itu datang begitu mesra, tapi pergi tanpa sepatah kata. Ia hanya meninggalkan basah di tanah.

Dinda, kini engkau telah menjelma menjadi sel-sel di kepalaku yang selalu kuabadikan dalam setiap puisi-puisiku. Puisi Dinda yang menepikan setiap inci logika menjadi cinta. Puisi Dinda yang setia berdamai dengan palung jiwa. Puisi Dinda yang selalu memerintahkan rindu ini memukul balik asa. Dinda, sepertinya aku sudah gila. Sebab untuk waras aku hanya membutuhkanmu, Dinda. (Tulisan ini dikirim oleh Rasyid Tunny)