Pak Tumiran yang Tak Kenal Lelah

Pak Tumiran dan Syifa
Sumber :

VIVA.co.id – Ini kisah pilu seorang lelaki lanjut usia yang hidup di Bekasi. Ia hidup sebatang kara, karena istri dan anaknya sudah meninggal dunia. Di usia yang sudah sangat renta yaitu 68 tahun, ia bertahan hidup sebagai kuli bangunan di kota perantauannya itu. Ia bernama Tumiran, seorang perantau dari Purworejo.

Ia merantau ke Jakarta, mencoba sebuah peruntungan untuk mengubah nasib hidupnya pada tahun 1971 sebagai buruh di pabrik. Peruntungan tidak kunjung datang kepadanya. Ia pun merantau kembali ke Bekasi lebih tepatnya wilayah Tambun, pada tahun 1991. Mencoba peruntungan kembali di Bekasi, Tumiran bekerja sebagai kuli bangunan sejak tahun 2005 sampai sekarang.

Menjadi seorang kuli bangunan adalah pekerjaan yang tidak pasti. Mempunyai tenaga yang masih kuat dan tubuh yang sehat, tak jarang tenaganya dibutuhkan oleh banyak orang. Tidak mengenal lelah dan jarak, terkadang ia menerima pekerjaan sebuah proyek di Cikarang. Walaupun jarak yang ditempuh cukup jauh, ia tak pernah mengeluh jika harus pulang pergi menggunakan sepeda motor.

Mendapatkan upah yang kurang dari cukup, yaitu 90.000 per hari dari proyek yang dikerjakan, ia tetap selalu bersyukur. Sebuah pekerjaan yang tidak bisa dibilang mudah dan sangat berbahaya. Sering kali Tumiran mengalami berbagai insiden di tempat kerjanya. Sebuah kecelakaan kecil ataupun kecelakaan besar saat bekerja. Tidak adanya asuransi dari tempatnya bekerja, membuat ia merasa sedih karena menanggung beban biaya sendiri. Terkadang tidak adanya pekerjaan kurang lebih sampai 2 bulan, membuat Tumiran harus tetap bersabar.

Kepergian anaknya ke Rahmatullah pada tahun 2008, memberikan kesedihan yang sangat mendalam untuk Tumiran, terutama untuk sang istri. Rasa kehilangan yang dirasakan istrinya memberikan dampak kesehatan yang buruk untuk sang istri. Asam urat dan darah tinggi mendadak meningkat sangat drastis, membuat Tumiran merasa sedih.

Setelah kepergian anaknya, istri Tumiran pun menyusul berpulang ke Rahmatullah pada Desember 2015. Banyak kenangan indah yang dilalui Tumiran bersama istri tercintanya membuat kesedihan mendalam. Rasa rindu yang mendalam terkadang ia rasakan ketika sepi datang. Doa dan zikir yang tidak pernah putus sebagai pengiring rindu yang dikirim untuk sang istri di surganya Allah.

Walaupun usianya sudah terbilang tua, Tumiran terus semangat bekerja setiap harinya. Tak pernah terlintas di pikirannya untuk berhenti bekerja. Dengan penghasilan yang kadang masih dirasa kurang, ia tidak pernah lupa menyisihkan sedikit rezekinya untuk beramal. Tak lupa juga, ia menyisihkan sedikit rezekinya untuk pemugaran makam istri dan anak tercintanya. Begitu besar semangat Tumiran dalam mencari uang demi menyambung hidup, dan untuk membayar sewa makam anak istrinya.

Dengan kondisi seperti inilah Tumiran menjalani kehidupan sehari-harinya. Banyak warga yang bersimpati kepadanya, sehingga banyak pula bantuan datang untuk Tumiran. Meskipun begitu, Tumiran tidak besar kepala. Ia hanya bisa berterima kasih kepada warga yang telah bersimpati terhadap dirinya dan tetap merasa harus berjuang mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan.

Di usia yang sudah tak lagi muda, banyak harapan yang ingin Tumiran sampaikan. Ia berharap semoga ia selalu diberikan kesehatan dan tidak membebani banyak orang di kondisinya yang sekarang. Cucunya harus bisa sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Itu adalah harapan terbesar Tumiran untuk cucu tercintanya.

Ia mempunyai motivasi penting dalam hidupnya. Yaitu selagi masih kuat dan bisa, maka lakukanlah. Jalani hidup sehari-hari dengan santai, selalu bersyukur, tidak pantang menyerah, dan usaha terus itu adalah kesan dari Tumiran. Kesedihannya hanya bisa ia rasakan sendiri. Keluh kesah yang ia rasakan bukan menjadikan ia orang yang lemah dan putus asa. Usia yang sudah tua bukan penghalang untuk terus bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. (Tulisan ini dikirim oleh Diandra Yustisia dan Syifa Nur Maulidia, mahasiswa Universitas Pancasila, Jakarta)