Perusahaan dan Sopir Online, Siapa Untung Siapa Buntung

sorot ojek online - transportasi online - unjukrasa driver aksi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Awal pekan ini, Selasa 27 Maret 2018, jalanan sekitar Monumen Nasional penuh dengan ratusan pengemudi motor ojek online. Mereka bergerak ke depan Istana Negara memprotes kebijakan perusahaan transportasi online yakni Gojek, Grab dan Uber yang dituding tak memedulikan kesejahteraan mereka. 

Pengemudi ojek online menyoal uang insentif dan tarif yang berkeadilan bagi mereka. Mereka ingin tarif dinaikkan, supaya pendapatan mereka terangkat. Aksi jalanan pengemudi transportasi online menuntut kesejahteraan mereka sudah dilakukan berulang kali. 

Perusahaan transportasi online memang sudah makin populer di Indonesia. Mulai 2011 dan 2012 layanan ini muncul kemudian bermunculan yang kemudian muncul ojek online. Ada tiga nama populer ojek online yang wara-wiri di jalanan kota besar di Indonesia, yaitu Gojek, Grab dan Uber. 

Seiring dengan perkembangan, jumlah pengojek online makin bertumbuh, seiring dengan kebutuhan pengguna yang makin lekat. Per Oktober 2017, Gojek punya 400 ribuan mitra pengemudi di Indonesia, Grab mempekerjakan 1,9 juta mitra pengemudi untuk seluruh mitra pengemudi di Asia Tenggara dan Uber sekitar 6 ribu mitra pengemudi.

Pada awal-awal munculnya transportasi online, pengemudi merasakan manisnya mengaspal. Dalam sehari pengemudi ojek online bisa mendapatkan Rp500 ribu dalam sehari. Namun situasi kini berubah, untuk mendapatkan jumlah tersebut begitu susah. Kerja siang dan malam. 

Mitra pengemudi ojek online merasa keringat dan lelah mereka bekerja siang dan malam tak dihargai setimpal. Pada pertengahan 2017, suara-suara kecewa dari mitra pengemudi ojek online makin meledak. Dalam demo medio Mei 2017 misalnya, pengemudi ojek online turun jalan menyoroti soal kesejahteraan mereka 'dimainkan' perusahaan lewat aturan tarif, kemudian tanggungan asuransi yang melindungi mitra pengemudi dinilai terlalu kecil.  

Suara kekecewaan itu dipotret oleh peneliti Aulia Nastiti yang diunggah dalam laman The Conversation. Riset mahasiswi doktoral Political Science Northwestern University Amerika Serikat itu mengungkapkan bagaimana pengemudi ojek online dieksploitasi perusahaan ojek online.

Dalam risetnya kurun waktu enam bulan dari November 2016 sampai April 2017, Aulia menganalisis narasi dan testimoni pengemudi pada medium media sosial dan berbincang dengan 10 pengemudi ojek online di Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan Makassar pada pertengahan 2017.

Kesimpulannya, tulis Aulia, alih-alih menjadi mitra bagi perusahaan, pengemudi malah menjadi objek eksploitatif. Mitra pengemudi dikontrol oleh aplikasi dan sistem bonus yang membuat mereka mengikuti sistem itu untuk bisa mendapatkan rupiah yang lebih banyak.

Aulia juga menuliskan, dalam menjalani sebagai mitra, posisi pengemudi ojek online malah berada di bawah perusahaan dan penumpang. Perusahaan kuasa atas aplikasi, modal dan akses. Sedangkan penumpang, menurut Aulia, menentukan nasib mitra pengemudi karena bertindak sebagai 'manajer'. Penumpang bisa memberikan rating kepada pengemudi yang menentukan bonus mereka.    

Temuan tersebut ramai ‘dibantah’ oleh manajemen Grab, Uber dan Gojek. Mereka menegaskan layanan mereka membantu meningkatkan kesejahteraan para “mitra kerja”.

Pengemudi naik kelas

Perwakilan Grab menilai kesejahteraan mitra pengemudi mereka makin 'naik kelas'. Marketing Director Grab Indonesia, Mediko Azwar mengungkapkan perusahaan berhasil meningkatkan potensi penghasilan para mitra pengemudi Grab. Mitra pengemudi mereka memperoleh 34 persen lebih tinggi per jam dibandingkan dengan upah pekerja rata-rata di seluruh pasar.

"Kami menghasilkan lebih dari US$260 juta pendapatan untuk mitra pengemudi kami di Indonesia pada Februari 2017," ujar Mediko kepada VIVA.co.id, Kamis 5 Oktober 2017.

Senada, Gojek juga mengaku kualitas hidup mitra pengemudi mereka meningkat selama bergabung dengan layanan besutan Nadiem Makariem tersebut. Perwakilan Manajemen Gojek, Rindu Ragillia mengatakan, temuan itu muncul dalam hasil survei Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universitas Indonesia.

Nyerah karena COVID-19, Aplikasi Transportasi Online Pilih PHK Massal

Studi itu mengungkapkan, 83 persen mitra ojek online Gojek atau Go-Ride merasa kualitas hidup mereka meningkat, khususnya dari segi ekonomi dan jam kerja yang fleksibel, sehingga punya lebih banyak waktu untuk bagi keluarga.

"Survei yang sama juga mengungkapkan bahwa lebih dari 75 persen mitra Go-Ride memiliki penghasilan yang lebih besar dari pada rata-rata upah minimum nasional," jelas Rindu.

Siap-siap, Aturan Transportasi Online Baru Resmi Berlaku 12 Oktober

Pengemudi Angkutan Umum dan ojek berbasis aplikasi daring (online) menggelar konvoi damai di Tangerang, Banten.

Uber juga menegaskan mitra pengemudi mereka sudah menikmati kenyamanan. Berdasarkan survei AlphaBeta, 46 persen mitra pengemudi yang disurvei mengungkapkan, fleksibilitas adalah alasan utama para mitra pengemudi tersebut bergabung bersama Uber.

Grab 'Bakar Duit' Rp7 Triliun di Vietnam, Takut Disalip Gojek

Dari survei itu, mitra pengemudi Uber Indonesia, mengakui layanan ojek online Uber menjadi sumber pendapatan bagi masyakarat Indonesia yang berisiko tersisih dari kemajuan ekonomi.

"43 persen dari mitra pengemudi Uber yang disurvei sebelumnya tidak memiliki pekerjaan. 6 persen tidak memiliki rekening bank," jelas Uber Indonesia pada Oktober lalu.

Soal asuransi, perusahaan transportasi online kompak mengatakan mereka peduli dengan mitra mereka di jalanan. Uber melindungi mitra dan penumpang mereka dengan asuransi dari PT Asuransi Allianz Indonesia hingga Rp100 juta. Gojek juga sama menggandeng perusahaan asuransi itu plus BPJS untuk melindungi mitra mereka. Grab mengatakan, mereka juga melindungi mitra dan penumpang dengan asuransi kecelakaan maupun korban perampokan. 

Soal tudingan mengeksploitasi mitra pengemudi melalui sistem bonus, Uber menegaskan mitranya punya kebebasan untuk menentukan kapan menggunakan aplikasi dan kapan offline dari aplikasi.

Dengan fleksibilitas sistem itu, lanjut Uber, 61 persen mitra menggunakan aplikasi Uber kurang dari 10 jam per minggu. Maka sistem yang dibangun Uber masih membuka ruang bagi mitra pengemudi mengurus keluarga, sekolah, menjalani proses lamaran kerja, pekerjaan utama sampai menekuni UKM yang mereka rintis. 

Sistem kemitraan Gojek tak jauh beda dengan Uber. Gojek mengatakan, mitra pengemudi mereka punya jam kerja yang fleksibel dan lebih produktif, punya kebebasan untuk menentukan waktu kerja sesuai waktu yang diinginkan mereka.

Grab menegaskan, soal sistem bonus mereka tetap memerhatikan kesejahteraan mitra pengemudi dalam mendapatkan jaminan penghasilan. Grab mengacu pada skema pencocokan permintaan dan suplai layanan dengan data aktual di lapangan serta menerapkan prinsip efisiensi yang menjamin para mitra pengemudi mereka memperoleh pendapatan yang berkesinambungan.

Baca: Mitra Tak Setara

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya