Belum Mampu Beli Rumah? Coba Konsep Co-living

Ilustrasi hunian
Sumber :
  • Pexels/Pixabay

VIVA – Harga properti kian hari kian melambung. Bagi pekerja, terutama generasi milenial dengan penghasilan rata-rata Rp7,5 juta setiap bulan, tentu butuh waktu lama mengakuisisi sebuah rumah. Sebab beli rumah dengan Kredit Kepemilikan Rumah pun bukan perkara gampang. 

Bertambah Usia, Perjalanan Perusahaan Properti Ini Makin Bertumbuh Sukses

Pengamat urban living, Sabrina Soewatdy, menuturkan, dengan penghasilan rata-rata sebesar itu tentu tidak memungkinan generasi muda ini membeli rumah di tengah kota. Ditambah lagi pada dasarnya generasi ini juga cenderung mengesampingkan keinginan memiliki hunian dan tanah.

Karenanya, harus ada solusi baru yang relevan bagi anak muda yang tetap membutuhkan rumah ini. Menurut co-founder startup manajemen properti Rukita tersebut, konsep co-living yang sudah lama dianut kota-kota besar dunia bisa menjadi alternatif tempat tinggal bagi mereka.

Didominasi Rumah Tapak, Lippo Karawaci Cetak Pra Penjualan Rp 1,5 Triliun di Q1-2024

Mengutip riset yang dilakukan RisetKarir.com, Sabrina dalam keterangannya kepada VIVAnews, mengatakan, jumlah milenial dengan penghasilan rata-rata Rp7,5 juta sebulan cukup banyak. Bahkan angkanya sampai 83 persen. Penghasilan sebesar ini tentu  jauh dari cukup untuk membeli rumah di ibu kota. 

Selain itu, 17 persen milenial hanya mampu membeli rumah bekas pakai dengan harga sekitar Rp300 juta. Gaya hidup mewah dan pengeluaran besar para kaum ini juga berperan mengurangi kemampuan mereka membeli properti.

Punya Banyak Proyek Properti di Bandung Raya, APLN Pede Kuasai Pasar Jawa Barat

"Salah satu solusi yang ditawarkan saat ini adalah dengan Kredit Pemilikan Rumah dengan downpayment 15 persen. Namun untuk membayar DP ini, milenial tetap harus menabung tahunan,” kata Sabrina. 

Konsep co-living memungkinkan para milenial dan profesional muda bersama menyewa sebuah rumah di bawah manajemen suatu perusahaan. "Konsep ini bukanlah konsep baru, banyak kota besar di dunia yang mulai menyediakan property co-living untuk para milenial dan profesional muda yang tidak ingin, atau tidak mampu, membeli rumah sendiri," katanya. 

Sabrina menambahkan, kepemilikan properti makin lama makin tidak relevan bagi sebagian besar milenial, dibuktikan dengan meningkatnya penjualan apartemen dan menurunnya penjualan rumah. Bahkan dengan penurunan luas apartemen sebesar rata-rata 26 persen. 

"Mereka juga sudah jarang saling berkunjung ke rumah, dan lebih memilih untuk bertemu di tempat umum seperti mal dan kafe. Mereka lebih mementingkan koneksi internet yang cepat," ujar Sabrina.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya