Suntik Likuiditas Bank Rp26 Triliun, BI Turunkan Giro Wajib Minimum

Gubernur Bank indonesia Perry Warjiyo (Kiri), DGS BI Mirza Adityaswara (Kanan).
Sumber :
  • Arrijal Rachman/VIVA.co.id.

VIVA – Bank Indonesia memutuskan, menurunkan Giro Wajib Minimum atau GWM Rupiah untuk Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah sebesar 50 basis poin mulai berlaku efektif 2 Januari 2020. Sehingga, masing-masing menjadi 5,5 persen dan empat persen, dengan GWM Rerata masing-masing tetap sebesar tiga persen.

Manfaat GWM Averaging bagi Bank-bank Kecil

Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan ini ditempuh guna menambah ketersediaan likuiditas perbankan dalam meningkatkan pembiayaan dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Strategi operasi moneter juga terus diperkuat untuk menjaga kecukupan likuiditas dan mendukung transmisi bauran kebijakan yang akomodatif.

Dia menuturkan, pada dasarnya likuditas perbankan saat ini terbilang masih cukup dengan rasio Alat Likuid Per Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 19,47 persen. Tetapi, distribusi likuditas antarkelompok bank, terutama Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) I, II, dan III dikatakannya saat ini tidak merata.

Cak Imin Sebut Pembangunan selama Sepuluh Tahun Terakhir Terlampau Sentralisasi

"Sejumlah kelompok bank BUKU I, II, III memang mengalami kekurangan dan karena persaingan DPK yang tumbuh delapan persen, sejumlahnya kurang bisa narik porsi DPK. Nah, penurunan GWM ini menambah likuditas seluruh bank," tegas dia di Gedung BI, Jakarta, Kamis 21 November 2019.

Dia mengungkapkan, dengan adanya penurunan GWM tersebut mulai Januari 2020, maka likuditias perbankan akan bertambah Rp26 triliun. Terdiri dari bank umum yang tambahan likuditasmya sebesar Rp24,1 triliun, sementara, untuk bank umum syaraiah dan unit usaha syariah sebesar Rp1,9 triliun.

20 Kata-Kata Inspiratif untuk Memperingati Hari Pendidikan Nasional

"Ini akan tambah likuiditas seluruh bank, sehingga memudahkan dia salurkan kredit dan permintaan kredit korporasi akan semakin meningkat dengan naiknya konfiden ekonomi Indonesia ke depan," ujarnya.

Dia mencatat, pertumbuhan kredit memang melambat dari 8,59 persen secara tahunan pada Agustus 2019, menjadi 7,89 persen pada September 2019, terutama dipengaruhi permintaan kredit korporasi yang belum kuat.

Pertumbuhan DPK pada September 2019, juga tercatat sebesar 7,47 persen secara tahunan, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan Agustus 2019, sebesar 7,62 persen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya