Ketika Uang dan Nasionalisme Beradu

menang atas ghana, portugal tetap tersingkir
Sumber :
  • REUTERS/Ueslei Marcelino
VIVAbola
Wanita Seksi, Kunci Agar Orang Ghana Suka Sepakbola Lokal
- Melihat kemapanan yang ditampilkan para pesepakbola di layar kaca, ataupun berbagai media lainnya, rasanya tak salah jika anak-anak yang sekarang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) menyebut profesi pemain bola sebagai cita-cita mereka.

Lawan Kamerun, Indonesia Kerahkan Pasukan Berani Mati

Coba Anda pergi ke SD terdekat, dan ajukan pertanyaan soal cita-cita ini pada para siswa yang berada di sana. Saya yakin, setidaknya seperempat dari kerumunan itu akan bermimpi menjadi "The Next Lionel Messi". Apalagi jika mereka mengikuti pemberitaan tentang gaya hidup pemain luar negeri. Bergelimang harta, dikelelilingi wanita, dan dipuja-puja umat sedunia.
Lawan Kamerun, Timnas Indonesia Tanpa 'Anak Emas'


Jujur saja, kita yang sudah dewasa pun menjadi iri dan terheran-heran bila membaca nominal angka dalam bentuk gaji yang diterima oleh para pemain luar tersebut per tahun, per bulan, bahkan per minggu. Meraup uang seakan-akan menjadi hal yang gampang bagi pria-pria berbadan atletis ini. Fantastis, luar biasa, atau ungkapan keheranan lainnya pasti Anda ucapkan melihat banderol harga yang menempel di tubuh para bintang lapangan hijau.

Harga tinggi tentu diharapkan sebanding dengan kualitas yang dimiliki, dan performa yang ditunjukkan. Klub yang merasa puas akan penampilan pemainnya juga tak akan ragu-ragu untuk mengucurkan bonus tambahan yang jumlahnya juga tak bisa disepelekan.


Kondisi itu tentu akan mereka alami jika bermain untuk sebuah klub yang mapan. Lalu bagaimana ketika mereka memberikan jasa untuk negara. Akankah mereka mendapat imbalan yang sama? Pertanyaan ini terus berputar-putar di benak saya. Apalagi setelah setelah membaca sikap yang ditunjukkan para pemain Kamerun menjelang keberangkatan ke putaran final Piala Dunia tahun ini.


Mereka melakukan aksi mogok tak mau meninggalkan hotel tempat pemusatan latihan dan menolak naik ke pesawat dan menuju ke Brasil. Alasan ngambek massal ini ternyata adalah uang. Para pemain belum menerima pembayaran yang semestinya mereka dapatkan saat bisa meloloskan Les Lions Indomptables ke putaran final.


Memang sekedar menuntut hak, ataukah mereka meminta timbal balik lebih saat harus berjuang membela negara? Tentu tidak semua anggota timnas Kamerun memiliki harga selangit, seperti rata-rata pendapatan anggota timnas Jerman.


Samuel Eto’o dengan gaji £7 juta per musim, dan Alex Song yang memperoleh £700 ribu per pekan dari Barcelona, mungkin termasuk pemain dengan bayaran tertinggi di antara rekan-rekannya sesama penghuni timnas Kamerun.


Jadi keengganan Eto’o dan kolega menuju negeri Samba, mungkin sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap perlakuan manajemen timnas dan Federasi Sepakbola Kamerun. Atau bisa juga hanya menunjukkan bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang bekerja profesional dalam mencari uang. Istilahnya, "Ada uang, ada barang".


Soal kucuran dana segar bagi timnas yang berlaga di event empat tahunan ini kembali menyeruak di benak saya, ketika para pemain timnas Ghana menekan federasi mereka untuk membagikan terlebih dahulu uang senilai US$8 juta sebelum berhadapan dengan Portugal.


Uang itu sebenarnya adalah hak yang memang mereka terima dari FIFA setelah gagal lolos ke babak 16 besar. Anehnya, skuad Ghana justru memintanya sebelum pertandingan melawan Portugal. Padahal, Ghana dalam posisi masih bisa lolos ke babak
knockout
. Apalagi, FIFA baru akan menyerahkan uang itu usai gelaran Piala Dunia 2014.


Saya kurang tahu pasti apa yang menjadi alasan mereka tak mau bersabar dan malah memaksa pemerintah, bahkan Presiden Ghana, John Dramani Mahama, untuk segera menyediakan dana talangan dan mengirimkannya pada mereka ke Brasil. Apakah mereka sering terluka dengan kebijakan finansial Federasi Sepakbola Ghana?


Gelandang Christian Atsu menjamin bahwa rekan-rekannya tak akan memboikot penampilan mereka di laga pamungkas Grup G melawan Portugal. Ia mengaku bahwa para pemain mencintai negara Ghana. Tapi, tetap saja mereka mati-matian memaksa agar bonus itu segera turun.


Maka sang presiden pun memutuskan untuk mencarter pesawat dan menerbangkan uang tunai sebesar US$3 juta dari Ghana ke Brasil. Sesampainya di Brasil, berkarung-karung uang itu kemudian melewati perjalanan darat menuju Brasilia, kota tempat timnas Ghana menetap dan melakoni laga kontra Portugal.


Michael Essien dan kawan-kawan menyambut datangnya lembaran-lembaran berharga ini dengan suka-cita, bahkan banyak kamera yang mengabadikan foto mereka sedang mencium uang yang didapatkan. Setiap pemain The Black Stars kabarnya mendapatkan US$75 ribu hingga US$100 ribu.


Jujur, saya agak iri melihat tuntutan pemain Ghana yang didengar oleh federasi dan presidennya. Saya membayangkan teman-teman pesepakbola dalam negeri yang tak tahu harus mengadu kepada siapa, saat gaji berbulan-bulan tak dibayarkan oleh pemilik klub tempat mereka merumput.


Memang level timnas berbeda dengan level klub. Tapi intinya toh sama, ada perhatian terhadap tuntutan pemain dan pemenuhan hak mereka yang diberikan oleh pemerintah dan federasi sepakbola. Lalu jika para pemain dari klub-klub yang berpartisipasi di Divisi Utama ataupun Indonesia Super League melakukan aksi mogok, akankah mereka mendapatkan perhatian yang sama? Atau malah dibungkam dan disingkirkan perlahan-lahan.


Penulis: Putri Violla, presenter tvOne
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya