Optimisme Pengusaha RI Anjlok di Titik Terendah Baru

Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVAnews - Optimisme bisnis di kalangan pengusaha Indonesia anjlok pada kuartal IV tahun lalu, yakni ke posisi 14 persen, dari kuartal III tahun lalu di posisi 48 persen.
Tak Selesai Kuliah, Ahmed Haider Ciptakan Aplikasi Drone

Kesimpulan tersebut didapat dari hasil riset Grant Thornton International Business Report (IBR) yang baru-baru ini diriliss.
Bos Sido Muncul: Pintar Bukan Jaminan Bisa Sukses

Riset tersebut menyebutkan, optimisme bisnis menurun tajam dalam kurun waktu 12 bulan, dan membawa Indonesia turun ke peringkat 20 dari 35 negara yang disurvei pada kuartal IV 2014.
Tips Sukses Memulai Bisnis Coklat Manis Rumahan

Optimisme bisnis di Indonesia jauh berada di bawah India (98 persen), Selandia Baru (82 persen), Australia (70 persen), Singapura (48 persen), Thailand (27 persen), dan Tiongkok (25 persen) di kawasan Asia Pasifik.

IBR juga melaporkan bahwa optimisme bisnis Indonesia berada di bawah rata-rata optimisme bisnis global, yakni 35 persen. Bahkan, berada di bawah rata-rata optimisme bisnis di ASEAN, yakni 23 persen.

Indonesia dan Thailand ditengarai sebagai kontributor utama bagi menurunnya optimisme bisnis di kawasan regional tersebut.

"Anjloknya optimisme bisnis di Indonesia kemungkinan terjadi karena faktor kolektif di beberapa aspek bisnis. Kalangan pengusaha Indonesia pesimis akan bisa mencetak profit yang ditargetkan pada tahun 2015," kata Johanna Gani, Managing Partner Grant Thornton Indonesia, seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Selasa 13 Januari 2015.

Pesimis tak capai target

Menurutnya, sebagian besar di antara mereka merasa khawatir tidak bisa mencapai target penjualan yang ditetapkan untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang diharapkan. 

Dia menjelaskan, ekspektasi akan profitabilitas untuk 12 bulan mendatang turun hingga 20 persen dari sebelumnya 46 persen pada kuartal III 2014. 

Dia menuturkan, minimnya ketersediaan sumber pendanaan, beberapa kebijakan dan proteksi industri, serta infrastruktur transportasi dipersepsikan sebagai hambatan dominan bagi aktivitas bisnis.

“Selepas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada bulan November 2014 silam, tingkat inflasi tahunan langsung melesat naik hingga 6,2 persen. Peningkatan harga-harga, khususnya untuk barang kebutuhan pokok dan sektor transportasi, mendorong konsumen untuk membatasi
pengeluaran,” ungkapnya.

Johanna menjelaskan, survei terakhir dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa optimisme konsumen mengalami sedikit penurunan pada November 2014 silam, dari 120,6 poin menjadi 120,1 poin. 

Menurutnya, hal ini terutama disebabkan oleh menurunnya ekspektasi konsumen terhadap kondisi perekonomian. Dia berharap, sentimen pasar dapat terpengaruh secara positif oleh penurunan harga BBM bersubsidi per 1 Januari 2015. 

Dia juga berharap, pemerintahan Joko Widodo memberikan pengaruh yang positif mengingat beberapa reformasi struktural sedang berlangsung di negeri ini.

"Pengembangan dan peluncuran lini produk atau layanan baru dapat menjadi salah satu inisiatif bagi perusahaan untuk meraih tingkat pertumbuhan usaha yang berkesinambungan di tahun 2015. Inisiatif tersebut sebaiknya dilengkapi dengan upaya untuk mengembangkan bisnis di lingkungan domestik, serta merekrut tenaga kerja spesialis," ungkapnya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya