Catatan Akhir Tahun

Menelisik Efektivitas Paket Jokowi Dorong Ekonomi

Presiden Joko Widodo
Sumber :
  • VIVA/Agus Rahmat

VIVA.co.id - Kinerja perekonomian Indonesia di tahun pertama era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terbilang belum bisa dibilang memuaskan.

Singapura Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi 2016

Euforia fantastis dari masyarakat, serta harapan besar yang dielukan saat Jokowi resmi didaulat menjadi orang nomor satu di Tanah Air pun seakan sirna ditelan bumi.

'Warisan' yang ditinggalkan oleh rezim pemerintahan sebelumnya, dianggap menjadi salah satu biang keladi tak produktifnya kegiatan perekonomian dalam negeri sepanjang tahun 2015.

Proses perizinan yang tumpang tindih dan segala macam kebijakan yang belum tertata dengan baik menjadi faktor tersendiri kinerja ekonomi domestik jadi terhambat.

Lalu, apakah benar 'warisan' tersebut memiliki andil besar dalam kinerja ekonomi Indonesia? Tidak sepenuhnya dapat dikatakan demikian. Faktanya, ada sejumlah fenomena yang terjadi pada perekonomian dunia, yang memberikan pengaruh cukup besar bagi laju ekonomi domestik. Fenomena pertama adalah perlambatan ekonomi yang terjadi di Tiongkok.

Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi negeri Tirai Bambu itu memang terbilang cukup mengesankan. Bagaimana tidak, Tiongkok mampu menembus pertumbuhan ekonomi sebesar 9,3 persen pada 2011. Bahkan, sempat menyentuh angka 10,4 persen di 2010.

Tidak hanya itu, Tiongkok juga didaulat menjadi salah satu negara dengan ekonomi terbesar kedua oleh Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) apabila menilik dari keseimbangan kemampuan berbelanja, dan diproyeksikan mampu menyalip negara dengan kekuatan ekonomi terbesar, Amerika Serikat.

Namun sejak kuartal I-2014, perekonomian Tiongkok mulai terlihat kehilangan momentumnya. Pertumbuhan ekonomi negara tersebut pada 2014, hanya mencapai 7,4 persen. Ini menjadi titik terendah sejak 1990. Perlambatan di sektor properti negara itu memang tidak terelakan, dan akhirnya memberikan dampak negatif bagi laju pertumbuhan ekonomi negara itu.

Dengan demikian, negara berkembang termasuk Indonesia, mulai terkena dampak yang cukup signifikan dari permintaan ekspor komoditas yang menurun dari Tiongkok. Apalagi, IMF beberapa waktu yang lalu telah memproyeksikan pertumbuhan negara tersebut hanya mampu tumbuh di kisaran 6,8 persen.

Artinya, sektor komoditas domestik yang selama ini menjadi 'senjata' andalan ekapor Indonesia turut dipengaruhi dari perlambatan tersebut. Padahal, ekspor komoditas dalam negeri sendiri merupakan salah satu indikator penting untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi domestik.

Fenomena kedua, yakni gonjang-ganjing kenaikan tingkat suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) selama tiga tahun belakangan, yang berhasil 'menjatuhkan' mata uang rupiah dari fundamental sebenarnya. Ketidakpastian tersebut membuat laju rupiah seakan terombang-ambing.

Bagaimana tidak, sejak pertengahan 2013, nilai tukar mata uang Garuda yang tadinya berada di bawah Rp10.000 per dolar AS, perlahan merangkak naik dan tidak pernah kembali ke level tersebut, seiring dengan semakin santernya isu global dan ketahanan ekonomi domestik yang belum kuat. Pemerintahan sebelumnya pun dianggap tidak mampu menepis dampak dari sentimen negatif global yang ditimbulkan.

Mengapa demikian? Pada saat itu, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI mulai mendekati masa kadaluarsa. Momen pergantian kepemimpinan pun tak terelakkan, sehingga tidak ada kebijakan khusus yang dikeluarkan pemerintah untuk memperkuat rupiah, atau pun meninimilaisir gejolak yang terjadi di pasar keuangan.

Kebijakan yang diterapkan Jokowi sejak dilantik pun belum menuai hasil yang maksimal. Terhitung sejak mantan Wali Kota Solo itu dilantik pada Oktober 2014, sampai dengan pertengahan 2015, kebijakan dan program yang dicanangkan pun tidak mendapatkan respons positif dari pasar keuangan.

Belum lagi, ditambah dengan langkah bank sentral Tiongkok (People's Bank of China/PBoC) yang mengimplementasikan kebijakan terbarunya dengan mendevaluasi Chinese Yuan Renmimbinya sebesar 1,9 persen, guna meningkatkan daya saing eskpor, dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Alhasil rupiah terus anjlok, dan sempat menembus level di kisaran Rp13.000 per dolar AS pada Maret 2015. Belum selesai sampai disitu, Bank Indonesia pada 14 September lalu, mencatat nilai tukar mata uang Garuda tergerus sampai ke level 15,87 persen terhadap dolar AS, sepanjang tahun ini.

"Rupiah terdepresiasi ke angka Rp14.348 per dolar AS pada 14 September. Lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 1,8 persen," ujar Gubernur BI, Agus Martowardojo dalam rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada Selasa 15 September 2015.

Pengamat: Proyek Infrastruktur Jangan Disetop
toko di pasar Senen

Sofjan Wanandi: Demo Tak Pengaruh Iklim Investasi

Hanya fenomena politik jelang pilkada.

img_title
VIVA.co.id
4 November 2016