Kawin Suntik, Kesuburan Sapi Turun Hingga 50 Persen

Sapi NTT tiba di Jakarta
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Pengembangbiakan sapi secara alami dengan mengawinkan sapi pejantan dan betina yang sedang subur mulai ditinggalkan. Kini, cara konvensional itu digantikan dengan inseminasi buatan (IB) atau kawin suntik, yang dinilai lebih efisien dan tingkat keberhasilannya cukup tinggi dalam budi daya sapi perah dan sapi potong.

Mentan SYL Dorong Provinsi Sulsel Jadi Sentra Sapi Potong Nasional

Namun, budi daya dengan kawin suntik ternyata punya dampak, yaitu timbulnya gangguan kesuburan pada sapi yang diperkirakan mencapai 30-50 persen.

“Inseminasi menyebabkan 30-50 persen sapi di Indonesia mengalami gangguan reproduksi,” kata Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prabowo Purwono, di kantornya, Rabu 27 April 2016.

DKI dan Bangka Barat Kerja Sama Pembibitan Sapi

Menurut Prabowo, munculnya gangguan reproduksi pada sapi ini disebabkan pelaksanaan IB yang kurang sesuai dengan aturan, sehingga menyebabkan muncul kasus anestrus (tidak birahi), repeat breading (kawin berulang), dan nimfomania (birahi terus menerus) pada sapi di kemudian hari.

Prabowo mengakui, baik dan buruk dari perlakuan kawin suntik juga ditentukan oleh faktor akseptornya. Apalagi, kekurangsuburan sapi muncul setelah adanya perlakuan IB.

Jokowi: Dalam 10 Tahun Indonesia Bisa Swasembada Daging

“Gangguan reproduksi melekat dari IB. Dampak negatif dari IB selama ini tidak pernah diungkap,” ujarnya.

Kesalahan akseptor IB di lapangan, katanya, dikarenakan pelaksana IB umumnya bukan dari kalangan praktisi dokter hewan.

“Sebenarnya, gangguan reproduksi ranah dokter hewan. Namun, kita tahu jumlah dokter hewan di Indonesia tidak banyak, sehingga dilakukan oleh para tenaga teknis pembantu,” ungkapnya.

Di samping itu, pelaksanaan IB di lapangan tidak didukung dengan prasarana yang menunjang dan kondisi sanitasi yang kurang baik. Akibatnya menyebabkan pelaksanaan IB menjadi media masuknya infeksi bakteri dan jamur.

“Pada saat IB tidak hanya semen yang didepositkan ke dalam korpus uteri, namun kemungkinan ada masuknya bakteri dan jamur,” ujarnya.

Dia menyebutkan, kegagalan reproduksi sapi di Indonesia umumnya bersifat subklinis akibat infeksi bakteri dan jamur pada organ reproduksi sapi betina. Beberapa jenis bakteri dan jamur yang paling sering ditemukan di antaranya E.coli, Cornyebacterium pyogenes, Streptococus sp, Staphylococcus sp, dan Aspergillus fumigator serta Candida Albicans.

Upaya pencegahan infeksi dan kontaminasi bakteri serta jamur ke dalam lumen uterus dapat dilakukan dengan pelaksanaan sanitasi yang ketat saat pelaksanaan IB.

“Pekerjaan IB bukan pekerjaan main-main, membantu dokter hewan dalam program inseminasi buatan,” katanya.

Sementara itu, peneliti Kedokteran Hewan UGM lainnya Surya Agus Prihatno menyampaikan, hasil penelitiannya terkait kasus gangguan reproduksi pada saat atau usai kelahiran pada sapi perah di Kabupaten Sleman sebesar 18,85 persen. Gangguan reproduksi ini disebabkan kondisi sanitasi yang kurang baik ditambah pengalaman peternak yang masih minim.

“Umumnya yang kami lihat terdapat kotoran di samping kandang, pengalaman beternak kurang dari 10 tahun dan sapi-sapi yang dibudidayakan berasal dari program bantuan sosial,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya