- U-Report
VIVA.co.id – Kalangan pengamat menilai pengampunan pajak (Tax amnesty) menjadi instrumen efektif terjadinya repatriasi modal dan memperkuat basis pajak baru. Karena itu, kebijakan ini harus menjadi pendahuluan sebelum dilakukan penegakan hukum.
"Apalagi, database kita belum canggih ya. Ini yang harus diperbaiki ke depannya,” ujar Pengamat Pajak Ronni Bako dalam siaran pers yang diterima VIVA.co.id, Rabu 11 Mei 2016.
Hal senada juga disampaikan Darussalam. Pengamat pajak dari Universitas Indonesia ini mengatakan efektivitas tax amnesty dalam menarik modal sudah dilakukan di negara-negara lain, seperti oleh Italia, Portugal, Argentina, Yunani, dan Belgia.
"Jadi, sebagai suatu kebijakan tidak ada yang salah," kata Darussalam.
Darussalam memaparkan, pengampunan pajak harus diberikan terlebih dahulu, ketimbang penegakan hukum, karena jumlah wajib pajak yang tidak patuh saat ini sedemikian besarnya.
Ketidakpatuhan tersebut disebabkan banyak hal, misalnya karena ketidaktahuan mengenai kewajiban membayar pajak, kurangnya sosialisasi, sistem admisnistrasi pajak yang masih belum sempurna, hukum pajak yang belum sepenuhnya mencerminkan kepastian dan keadilan.
"Nah, kalau penegakan hukum yang dikedepankan, maka seberapa efektif yang dapat dilakukan. Lantas, seberapa cepat penegakan hukum yang akan dilakukan? Lantas, seberapa valid data yang dimiliki? Kan, belum ketahuan,” kata dia.
Dengan hanya 22 juta penduduk Indonesia yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan sekitar sembilan juta yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak tahunan, maka jika tidak ada tax amnesty, jutaan rakyat Indonesia terancam tarif pajak hingga 30 persen dan denda maksimal 48 persen.
Selanjutnya, potensi tarik dana Rp11.400 triliun?