Ancaman Krisis Ekonomi Lebih dari 1998 Dinilai Tak Beralasan

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Juliantono menilai, saat ini Indonesia di tengah ancaman krisis ekonomi. Bahkan, krisis ekonomi yang akan terjadi di Indonesia akan lebih besar dari 1998, karena pelemahan nilai tukar rupiah yang terus terjadi, ditambah melemahnya sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Sri Mulyani Ungkap Dilema Ambil Kebijakan di Masa Krisis

Merespons hal itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menilai, jika dilihat dari ukuran ekonomi, kondisi pelemahan nilai tukar rupiah saat ini tidak bisa dikatakan bisa memicu krisis yang lebih parah dari 1998. Sebab, sistem keuangan Indonesia saat ini sudah lebih stabil dan kuat.

"Dulu 1998, kami banyak istilahnya hal-hal yang belum bisa kita mitigasi, seperti utang swasta yang tidak tercatat, sehingga ketidakpastiannya lebih tinggi. Sekarang, baik utang pemerintah maupun swasta sudah tergambar, sehingga sebetulnya lebih 'aman' karena ketahuan datanya. Jadi, mitigasinya jauh lebih bagus kan. Jadi, lebih siap, oh jaraknya masih sekian," ujar dia saat dihubungi VIVA, Kamis 2 Agustus 2018.

Indonesia Jadi Bagian dari 92 Persen Negara yang Akan Krisis Ekonomi

Di samping itu, dia juga membantah potensi krisis saat ini lebih buruk dari 1998 akibat sektor UMKM yang melemah untuk menopang krisis. Sebab, kondisi UMKM saat ini dan 1998 masih sama, yakni sama-sama tidak secara langsung terhubung dengan perbankan.

"Krisisnya itu kan mulai dari banknya yang berangkat dari penutupan 16 bank yang waktu itu, kemudian orang antre ngambil uang di bank. Nah, kebetulan UMKM banyak yang enggak terkait dengan bank justru itu yang bikin survive," tegas dia.

Misbakhun Koreksi Cara Pemerintah Tangani Krisis Akibat COVID-19

Dia menjelaskan, UMKM dari dulu dan sekarang, meski 99 persennya mendominas sektor usaha di Indonesia, masih tetap kecil dan tidak makmur, karena kurang mendapat dukungan dari modal perbankan. Sehingga, mereka lebih mencari modal dari penyisihan laba, pinjam ke keluarga, bahkan juga ke rentenir.

"Karena memang konteksnya dia (UMKM dulu) enggak terkait dunia keuangan, padahal dunia keuangan tengah menghadapi krisis saat itu. Tapi ketika situasi membaik, dia karena enggak terhubung sektor keuangan, sektor keuangan sudah leading, dia enggak bisa mengikuti proses sektor keuangan itu," ucapnya.

Meski begitu, dia menegaskan, kondisi pelemahan rupiah saat ini memang benar-benar mesti diantisipasi pemerintah. Sebab, jika dibiarkan, daya beli masyarakat akan semakin melemah karena harga kebutuhan pokok semakin tinggi hingga biaya produksi industri yang terus melonjak.

"Nah, sekarang masalahnya adalah rupiah terus terusan melemah ini karena impornya besar banget. salah satunya adalah dipicu oleh konsumsi kita dengan masyarakat besar, konsumsinya banyak, cuma kebutuhan konsumsinya sebagaian besar dicukupi dari impor. Bahkan, kita ekspor pun prodaknya ada konten impornya," tutur dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya