Irigasi Minim, Daerah Produksi Pangan Ini Terancam Kekeringan 

Ilustrasi/Kekeringan
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Siswowidodo

VIVA – Kekeringan yang terjadi pada tahun ini diperkirakan akan lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya sehingga diperkirakan menurunkan produksi pangan hingga 60 persen. Hal itu, berbanding terbalik dengan klaim pemerintah yang menyatakan ketersediaan pangan aman di tengah ancaman kekeringan.

Daftar Harga Pangan 25 April 2024: Bawang Merah hingga Daging Sapi Naik

Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Dwi Andreas mengatakan masalah kekeringan yang terjadi saat ini perlu dicermati dan perlu diwaspadai oleh pemerintah. Sebab, dampak kekeringan dari data yang terkumpul sudah terjadi di sebagian wilayah Indonesia khususnya di pulau Jawa.

"Karena saat ini kami melakukan kajian yang mirip di jaringan kami. Data yang sebagian sudah terkumpul itu di Jawa Timur, itu yang terdampak kekeringan sekitar 15-50 persen. Tapi, itu baru di sebagian wilayah,” ujar Dwi dalam keterangannya, Rabu 8 Agustus 2018.

Kembangkan Produk Urea dan Amonia, Pupuk Indonesia Gandeng BUMN Brunei BFI

Menurut dia, kekeringan tersebut terjadi lantaran dampak dari wilayah-wilayah yang memiliki infrastruktur irigasi yang minim, baik sawah tadah hujan maupun daerah yang infrastruktur irigasinya sudah berkurang. Sehingga ia  memprediksi, kekeringan tahun ini akan lebih kering dibandingkan tahun sebelumnya.

“Sehingga, akan memberikan ancaman terhadap produksi, terutama padi dan jagung,” tegasnya.

Daftar Harga Pangan 23 April 2024: Daging Sapi hingga Telur Ayam Turun

Dengan kekeringan tersebut, lanjut Dwi, terjadi penurunan produksi antara 20-60 persen, dibandingkan produksi pada masa normal. Untuk itu, kebenaran data produksi dari Kementerian Pertanian saat ini sangat diragukan.

Ia mencontohkan soal klaim Menteri Pertanian yang menyebutkan produksi beras cukup besar pada Januari-Maret 2017 yakni mencapai 15,6 juta ton. Rinciannya, produksi pada Januari sebesar 2,8 juta ton, Februari 5,4 juta ton, dan Maret 7,4 juta ton.

Namun, harga beras mencapai puncaknya pada Januari 2018. Dan dari data yang dikumpulkan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), harga gabah di tingkat petani bahkan mencapai Rp5.667 per kilogram. 

Angka ini, lanjut dia melonjak dibandingkan Oktober sebesar Rp4.908 per kilogram. Harga kemudian melandai di bulan-bulan berikutnya, seiring produksi beras yang semakin meningkat hingga mencapai Rp4.319 tiap kilogramnya pada April 2018.

"Januari itu kami melakukan studi, stok gabah petani di jaringan kami itu kosong sama sekali. Itulah mengapa harga di Januari tinggi. Lalu Februari itu baru mulai masuk masa puncak panen raya. Kalau di jaringan kami, puncak panen raya itu sekitar April," ujar Dwi.

Karena itu, lanjut Dwi, menjadi pertanyaan jika disebutkan produksi mencapai surplus besar dari Januari-Maret. Pasalnya, harga mencerminkan kurangnya produksi dibandingkan konsumsi.

“Untuk saat ini, data produksi padi yang disampaikan Kementan sangat sulit diyakini kebenarannya, karena kami juga punya data terkait data panen paling tidak selama 17 tahun terakhir ini,” katanya.

Puncak Kemarau

Sementara itu, Badan Meterorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan sejumlah daerah telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) ekstrem atau lebih dari 60 hari, hingga daerah tersebut perlu diwaspadai terjadinya kekeringan.

Daerah tersebut adalah Sape, NTB, yang tidak mengalami hujan selama 112 hari. Disusul Wulandoni, NTT, selama 103 hari, Bali 102 hari, Kawah Ijen, Jatim, 101 hari, Bangsri, Jateng, 92 hari, DIY tepatnya di Lendah dan Srandakan 82 hari.

Daerah lain yang juga perlu diwaspadai ancaman kekeringan karena hanya memiliki curah hujan rendah di bawah 55 milimeter, yaitu sebagian besar Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Maluku Utara, bagian selatan Papua Barat dan Papua sekitar Merauke. BMKG pun memprediksi puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus dan September 2018.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya