Sidang BLBI, Mantan Mensesneg Sebut Alasan Utang Petani Tambak Dihapus

Petani memanen garam pada lahannya di Kawasan Penggaraman Talise, Kota Palu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah

VIVA – Sidang lanjut Surat Keterangan Lunas dengan terdakwa Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN, Syafrudin Arsyad Temenggung (SAT) digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis 16 Agustus 2018.

Kejar Obligor BLBI, Sri Mulyani Bakal Bertemu Menkopolhukam Hadi

Kali ini, mantan Sekretaris Kabinet (2001-2004) Bambang Kesowo menyampaikan kesaksiannya terhadap kasus itu. 

Di depan persidangan, dia mengakui, keputusan penghapusan utang petani tambak di bank beku operasi (BBO), Bank BDNI, diambil pada saat sidang kabinet terbatas 11 Februari 2004. Kala itu, dipimpin langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Dilantik Jadi Menko Polhukam, Hadi Tjahjanto Bakal Tuntaskan Kasus BLBI

Namun, menurut dia, sidang itu diagendakan bukan atas permintaan Komite Kebijakan Sektor Keungan (KKSK) dan bukan dalam rangka penyelesaian kewajiban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) BDNI. Tetapi, atas usulan aparat keamanan sebagai antisipasi untuk menjaga tidak meluasnya gejolak sosial saat itu. 

“Perlu saya tekankan, rapat terbatas saat itu diagendakan bukan atas usulan KKSK, tetapi oleh aparat keamanan dan intelijen,” kata Bambang dikutip dari keterangannya, Kamis 16 Agustus 2018. 

Mahfud MD Ungkap Tiga Tugas Jokowi yang Harus Dilanjutkan Menko Polhukam

Dalam penjelasannya, Bambang mengatakan, pada saat itu petani tambak sedang mengalami kesulitan berat, sehingga mereka tidak mampu membayar kewajiban cicilan kredit mereka ke bank. Di sisi lain, kewajiban itu terus membengkak karena suku bunga terus berjalan. 

Inilah membuat petani resah, dan berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial ekonomi secara lebih luas. Atas pertimbangan itulah kemudian aparat keamanan meminta ada sidang kabinet untuk membahas masalah kredit petani tambak ini.

“Jadi, rapat itu tidak ada kaitannya dengan penyelesaian BLBI, tetapi lebih pada kepentingan dan pertimbangan keamanan,” kata Bambang.

Penghapusan utang petani itu menjadi masing-masing Rp100 juta per orang, berdasarkan perhitungan bahwa utang pokok Rp20 juta dan utang untuk modal kerja baru Rp80 juta per orang. Inilah yang diputuskan dalam rapat KKSK pada 13 Februari 2004.

Dalam kaitan itu, dalam rapat tersebut juga dibahas jalan keluar untuk mengatasi masalah utang sekitar 110 ribu orang petani tambak ini. Disadari, bahwa beban petani sudah sangat berat, maka untuk itu dicarikan jalan keluar untuk mengurangi bebannya.

Caranya, adalah dengan  penghapusbukuan sebagian kewajiban utang petani tersebut, sehingga kewajibannya pada saat itu dari Rp3,9 triliun menjadi Rp1,1 triliun atau masing-masing menjadi Rp100 juta per orang.

Menurut Bambang, sesuai dengan kewenangannya, BPPN sebagai badan khusus bisa langsung melakukan write-off aset-aset atau kredit bank yang telah dilimpahkannya kepada lembaga itu, yaitu BBO, bank take over (BTO) dan bank dalam likuidasi.

Namun, dalam hal petani tambak ini, keputusan write-off diambil dalam sidang kabinet, antara lain karena didasari kebutuhan menghindari gejolak sosial yang lebih luas.

Dalam penjelasannya, Bambang juga menegaskan bahwa kehadiran BPPN, perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan berbagai tindakan yang diambil didasarkan kesadaran pemerintah saat itu bahwa berbagai instrumen keuangan yang digunakan tidak mampu mengatasi krisis keuangan 1997-1998.

Sehingga, untuk itu diperlukan satu kebijakan yang pamungkas yaitu mengeluarkan kebijakan blanket guarantee terhadap semua dana masyarakat di perbankan, mendirikan badan khusus, yaitu BPPN dan melakukan perjanjian penyelesaian kewajiban BLBI dengan pemilik bank dengan skema out court of settlement melalui perjanjian yang dikenal MSAA.

“Disain kebijakannya memang begitu, karena inilah yang dinilai bisa menjadi senjata pamungkas dalam menangani krisis ekonomi saat itu, agar tidak semakin dalam,” kata Bambang. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya