BI: Defisit Transaksi Berjalan 3 Persen Wajar, tapi Ada Syaratnya

Logo Bank Indonesia.
Sumber :
  • REUTERS/Darren Whiteside/Files

VIVA – Bank Indonesia mengungkapkan, defisit neraca transaksi berjalan Indonesia yang pada kuartal II-2018 melebar hingga batas amannya sebesar tiga persen terhadap Produk Domestik Bruto, pada dasarnya bukan hal yang menjadi persoalan, jika kondisi perekonomian global saat ini dalam kondisi normal.

Saham Bumi Resources Meroket Usai Umumkan Rencana Kuasi Reorganisasi, Ini Penjelasan Manajemen

Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia, Doddy Zulverdi menjelaskan, hal itu disebabkan besaran defisit transaksi berjalan pada dasarnya merupakan cerminan bagi investasi asing untuk masuk ke Indonesia. Bahkan, katanya, hingga 3,5 persen pun tidak menimbulkan masalah bagi perekonomian Indonesia.

"Kajian kami sampai 3,5 persen tidak menimbulkan masalah besar, justru itu cerminan bagi investasi asing," papar Doddy dalam sebuah diskusi di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu 19 September 2018.

Defisit APBN 2024 Diperlebar Jadi 2,8 Persen Gegara Subsidi Pupuk hingga BLT

Menurutnya, yang menjadi permasalahan saat ini adalah tidak masuknya arus modal dari investor global, akibat kondisi global yang penuh tidak kepastian. Khususnya yang disebabkan kebijakan normalisasi perekonomian Amerika Serikat, perang perdagangan, hingga jatuhnya perekonomian negara-negara emerging market seperti Turki dan Argentina.

Akibatnya, Indonesia yang dianggap para investor global memiliki kapasitas perekonomian setara dengan negara-negara tersebut dipersepsikan juga rentan terhadap kondisi perekonomian global saat ini. Tidak adanya arus modal yang masuk ke Indonesia dan menyebabkan defisit tidak terbiayai.

Sri Mulyani Buka Suara soal Program Makan Siang Gratis, Defisit Anggaran 2025 Naik

"Kalau tidak ada defisit maka tidak ada peluang bagi mereka untuk masuk, tapi yang jadi masalah sumber investasinya tidak masuk," tuturnya.

Karena hal itu, maka defisit transaksi berjalan yang pada kuartal I sebesar US$5,7 miliar, melebar di kuartal II-2018 sebesar US$8 miliar atau tiga persen terhadap produk domestik bruto akibat tidak dapat dibiayai. Tidak masuknya aliran modal asing tersebut juga memicu pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terjadi pada beberapa hari ke belakang.

"Aliran modal yang masuk ke negara berkembang terlihat sekali puncaknya di awal 2017 yang trennya terus turun ke negara emerging market. Sejak awal 2018 bahkan sudah berbalik atau keluar. Yang seharusnya mengalir ke negara berkembang, mengalir kembali ke sumbernya, ke Amerika Serikat. Maka tidak heran kemudian nilai tukar mengalami tekanan," ungkapnya.

Karenanya, dia menegaskan, kenaikan suku bunga acuan menjadi opsi yang ditempuh Bank Indonesia supaya pasar uang dan pasar modal di Indonesia menarik bagi para investor global. Di tengah tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral di negara lain akibat kebijakan normalisasi perekonomian AS.

"Itu yang akan kita lakukan. Salah satunya dengan menaikkan suku bunga agar instrumen kita menarik bagi investor," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya