RPP E-commerce Bakal Disahkan, Sudahkah Akomodir Semua Pihak?

Ilustrasi keranjang belanja di e-commerce.
Sumber :
  • acf.ua

VIVA - Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-Commerce atau RPP tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (TPSE) ditargetkan segera disahkan pada akhir bulan ini. Namun, drafnya dinilai belum mengakomodir semua kepentingan.

LPEI Bakal Luncurkan E-Commerce Serupa Amazon-Alibaba, UKM RI Bersiap Ekspansi ke Pasar Global

Hal ini jadi perhatian. Apalagi RPP ini dikabarkan siap ditandatangani Presiden Joko Widodo. Setelah sebelumnya diajukan oleh Kementerian Perdagangan dan telah melalui pembahasan antar Kementerian.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan UKM Kemenko Perekonomian, Rudy Salahuddin menuturkan tidak ada perubahan signifikan dari draf naskah sebelumnya.

Keren, Batik Indonesia Paling Banyak Diekspor ke Amerika Serikat dan Jerman

"Semua isinya sama persis dengan draf yang disampaikan, jadi tidak ada perubahan. Dengan konsumen, enggak ada perubahan. Sama kayak yang terakhir. (Domain.id) tidak diwajibkan permintaannya. Tapi diutamakan. Kata-katanya diganti diutamakan," kata Rudy, dikutip dari keterangan resminya, Rabu 14 November 2018.

Rudy pun menegaskan bahwa saat ini RPP e-commerce yang telah bergulir sejak 2015 itu sudah siap untuk diterapkan.

Social Commerce Makin Populer, Indef: Tren Pembayaran COD Melonjak

“Sudah selesai, tinggal menunggu waktu saja. Mestinya di November ini sudah terbit," ujar Rudy.

Saat ini RPP e-Commerce rencananya akan dikembalikan lagi kepada menteri terkait untuk diparaf. Setelah itu, RPP tersebut akan dikembalikan lagi ke Sekretariat Negara untuk disahkan sebagai PP.

Sebelumnya, saat uji publik RPP e-commerce melalui FGD tahun 2015 digelar Kemendag, para pelaku industri sempat memberikan sejumlah masukan kepada Kemendag terkait naskah RPP e-commerce yang dianggap dapat menghambat pertumbuhan industri.

Setidaknya ada 5 perihal yang menjadi masukan dari para pelaku industri, sebagai pihak yang terkena dampak langsung dari regulasi tersebut. Di antaranya terkait dengan kejelasan batasan tanggung jawab pelaku usaha yang terlibat e-commerce.

Kemudian, kesetaraan penegakkan aturan terhadap pelaku usaha yang berkedudukan di dalam wilayah dan luar negeri, perihal kewajiban untuk memiliki, mencantumkan, dan menyampaikan identitas subjek hukum atau yang dikenal sebagai Know Your Customers (KYC).

Selanjutnya, perizinan berlapis yang dinilai dapat menghambat pertumbuhan industri e-commerce itu sendiri, serta adanya beberapa bagian di RPP yang bertentangan dengan aturan hukum lainnya. Padahal, saat ini potensi ekonomi mikro dan makro dari industri e-commerce sangat besar.

Berdasarkan Riset McKinsey berjudul 'The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia's Economic Development' yang dirilis Agustus 2018, bahkan memproyeksikan pasar e-Commerce Indonesia tahun 2022 akan tumbuh menjadi 55 miliar dollar AS hingga 65 miliar dollar AS (Rp808 triliun hingga Rp955 triliun).

Regulasi yang dapat menciptakan equal playing field bagi ekosistem perdagangan online, termasuk pelaku industri dan konsumen sangat diperlukan guna memaksimalkan potensi dari industri ini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya