Jaga Stabilitas Ekonomi, Penambahan Subsidi BBM Pilihan Tepat

Ilustrasi Nozzle BBM.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Kebijakan pemerintah menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 dinilai tepat dibandingkan harus menaikkan harga. Terobosan pemerintah dan Pertamina tersebut diapresiasi sejumlah pengamat ekonomi. 

Masa RAFI 2024, Konsumsi Avtur Naik 10%

Peneliti Center for Economics and Developnebt Studieds (CEDS) Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, mengatakan kebijakan fiskal yang diambil pemerintah dengan menambah subsidi BBM dinilai tepat. 

Menurut dia, Langkah tersebut merupakan affirmative action dari sisi input faktor produksi untuk sektor transportasi dan biaya logistik demi menjaga stabilisasi inflasi secara domestik. 

Peringati Hari Kartini, Peran Perempuan dalam Industri 4.0 Jadi Sorotan di Hannover Messe 2024

Baca juga: Mau Masuk Pialang Berjangka, Bappebti Ingatkan Ini ke Nasabah

“Artinya pemerintah yang didukung Pertamina melakukan intervensi fiskal demi mengurangi dampak rantai logistik yang disebabkan kenaikan BBM terutama untuk masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga dan rentan masuk dalam jurang kemiskinan,” kata dia dalam keterangannya dikutip, Rabu 25 Mei 2022. 

Usai Sepi Peminat, Pemerintah Kasih Gratis Konversi Motor Listrik

Saat ini, kata dia, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kemiskinan eksrem akibat pandemi yang harus segera menjadi 0 persen pada 2024. Jika tidak ada kebijakan fiskal untuk menahan kenaikan harga BBM akan merugikan stabilitas pemulihan ekonomi Indonesia ke depan. 

“Saya kira benefit pemulihan ekonomi akan lebih besar dibandingkan dengan cost dari subsidi solar dan pertalite. Walaupun dalam jangka pendek kebijakan instan ini tidak begitu mendidik dalam kondisi normal karena tidak akan mengembangkan energi alternatif,” katanya. 

Akan tetapi, apabila dibandingkan dengan negara lainnya seperti AS atau Uni Eropa, subsidi energi ini tetap dilakukan untuk menjaga stabilitas konsumsi masyarakat selama krisis yang diakibatkan pandemi terutama energi listrik.  

Di sisi lain, Yayan menilai, pemerintah harus mereformasi kebijakan subsidi energi. Efektivitas subsidi energi dinilai sangat kecil dan tidak mengedukasi secara baik terhadap penggunaan energi. 

Dia berharap pemerintah tegas bahwa masyarakat perkotaan yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan mampu untuk membeli pertamax. Sedangkan pertalite difokuskan pada kendaraan umum (pelat kuning) dan wilayah sub urban atau perdesaan yang pendapatannya lebih kecil dan aksesnya lebih terbatas di bandingkan perkotaan. 

“Mengapa ini dilakukan? Dengan pembagian ini akan memudahkan pelayanan penggunaan energi agar tepat sasaran dan tidak menyulitkan masyarakat untuk mengakses BBM. Jika kebijakan ini segmentatif akan menjadi bumerang bagi masyarakat yang nakal,” ucapnya. 

Petugas SPBU melayani masyarakat dengan mengisi BBM jenis Pertalite di Kota Sorong, Papua Barat

Photo :
  • ANTARA FOTO/Olha Mulalinda

Selain itu, kata Yayan, dengan memberikan subsidi kepada kendaraan umum diharapkan masyarakat menggunakan kembali transportasi publik dan menghidupkan sektor transportasi yang sudah babak belur akibat pandemi.

Senada, Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, juga mendukung kebijakan pemerintah untuk menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 sebesar Rp71,8 triliun. 

Menurut dia, pemerintah mengambil sikap untuk menambah subsidi daripada menaikkan harga BBM sebagai bentuk perhatian pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. 

Penambahan subsidi BBM, kata dia, sejatinya adalah imbas dari disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi yang terlampau jauh. Harga pertamax dan pertalite selisihnya sangat jauh sehingga terjadi migrasi dari BBM kadar oktan (RON) 92 jenis pertamax ke BBM RON 90, yaitu pertalite.  

“Dengan kondisi ini pemerintah harus all out menjaga subsidi energi. Dana masih tersedia asal pemerintah mau fokus ke stabilisasi harga energi sekaligus membantu meringankan cashflow Pertamina,” ujar Bhima.

Sementara itu, Guru Besar Bidang Manajemen dari President University, Jony Oktavian Haryanto, mengatakan penambahan subsidi BBM sejatinya harus bisa diikuti oleh kebijakan untuk mengelola kuota solar dan pertalite. 

Apalagi, kata dia, pemerintah telah mengusulkan penambahan kuota solar menjadi 17,39 juta kiloliter (KL) dari 15 juta KL dan pertalite 28,5 juta KL dari proyeksi 23 juta KL.

“Kembali ke masyarakat, mau pakai barang subsidi atau tidak. Ini karena pemerintah tidak punya tools mengontrol subsidi tersebut digunakan oleh yang berhak atau pihak lain. Tapi apakah masyarakat kita sudah cukup dewasa menyikapi subsidi,” katanya. 

Seperti diketahui, pemerintah dan Pertamina hingga saat ini kompak untuk tidak menaikkan harga solar subsidi yaitu Rp5.150 per liter dan pertalite diharga Rp7.650 per liter. Padahal harga keekonomian dua jenis BBM itu kini Rp12.119 untuk solar dan Rp12.665 per liter pertalite. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya