Ekonomi RI Ditargetkan Tumbuh 5,3 23, Sri Mulyani: Kerja Keras

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Sumber :
  • VIVA/Fikri Halim

VIVA Bisnis – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati optimis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di 2023 akan positif. Meski begitu dia tetap mewaspadai dinamika global yang saat ini terus berlangsung.

IMA Waspadai Sinyal Pelemahan Ekonomi RI Kuartal I-2024

Ani begitu sapaan akrabnya mengatakan, optimisme itu karena pertumbuhan APBN di 2022 berjalan dengan baik. Ekonomi nasional pun dikatakannya terus mengalami pemulihan.

"Optimisme karena tadi pertumbuhan APBN kita baik di sektor-sektor sudah mulai pulih. Neraca pembayaran kita trade account-nya positif 26 bulan ini semua memberikan optimisme," kata Ani dalam konferensi pers Nita Keuangan dan RUU APBN 2023, Selasa 16 Agustus 2022.

Wapres Ma'ruf Serukan Umat Islam Bangkitkan Ekonomi Syariah

"Di sisi lain kita waspada karena memang scaring efek dari pandemi, sekarang munculnya inflasi itu harus diwaspadai," lanjutnya.

Dengan demikian jelasnya, APBN di 2023 akan memegang peran sebagai alat untuk menyerap syok yang diperkirakan berasal dari naik atau turunnya harga komoditas.

RI Dibayangi Meningkatnya Persaingan Global, Luhut: Tak Ada yang Bisa Mendikte Kita

"Dan mitigasi risiko terutama risiko yang di dalam APBN sendiri, yaitu utang dan defisit. Namun kita tetap menjaga risiko yang dihadapi oleh masyarakat termasuk di sektor keuangan,' jelasnya.

Lebih lanjut Ani mengatakan, berdasarkan asumsi makro di 2023 pertumbuhan ekonomi ditargetkan di angka 5,3 persen.

Menkeu Sri Mulyani.

Photo :
  • Anisa Aulia/VIVA.

"Ini tentu membutuhkan suatu kerja keras, karena tadi dunia  mengalami perlemahan seperti yang diprediksi atau diproyeksikan oleh IMF. Jadi kita harus tetap menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan," terangnya.

Adapun untuk target inflasi sebesar 3,3 persen di 2023 itu karena harga komoditas yang sudah cenderung turun. Di mana itu terlihat pada asumsi harga minyak di 2023 pada angka US$90 per barel.

Ilustrasi pendorong inflasi.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

"Lebih rendah dari kemungkinan terjadinya di tahun ini yang bisa mencapai antara US$95 hingga US$105 per barel. Jadi kalau tahun depan US$90 per barel itu, kita berasumsi dengan dunia yang lebih menurun pertumbuhannya maka permintaan terhadap minyak tidak mungkin lebih soft," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya