Pertumbuhan Ekonomi AS Beri Tekanan ke Ekonomi Global, Bagaimana Dampaknya ke RI?

Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso
Sumber :
  • VIVA/Mohammad Yudha Prasetya-tangkapan layar

Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang disebut-sebut tengah membaik pada kuartal III-2023. Kondisi ini nyatanya malah memberikan sejumlah tekanan pada perekonomian global seperti di China hingga ke Eropa.

Sri Mulyani Prediksi Ekonomi RI Kuartal I-2024 Tumbuh 5,17 Persen

Hal itu juga dibenarkan oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar. Ia mengatakan bahwa fenomena divergensi atau perbedaan kinerja perekonomian global memang masih terus terjadi sampai saat ini.

"Pertumbuhan ekonomi kuartal III-2023 di Amerika Serikat tercatat meningkat 4,9 persen, dibandingkan pada Kuartal pertamanya yang sebesar 2,1 persen," kata Mahendra dalam telekonferensi Pers Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan Oktober 2023, Senin, 30 Oktober 2023.

Suku Bunga BI Naik, Apindo Ungkap 3 Tantangan Ini Hantui Pengusaha

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi

Photo :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

Dia menambahkan, hal itu antara lain juga ditunjukkan dengan pasar tenaga kerja AS yang terus membaik, dan tekanan inflasi tetap ataupun persisten tinggi. Sehingga, hal itu turut mendorong meningkatnya aksi jual di pasar obligasi amerika Serikat. 

Guru dan IRT Jadi Korban Pinjol Ilegal Terbanyak, OJK: Cek Legalitas dan Logis Sebelum Pinjam

"Sejalan dengan meningkatnya ekspektasi suku bunga dari hire for longer itu, terjadi juga peningkatan pasokan obligasi pemerintah AS, untuk membiayai defisit di Amerika Serikat," ujarnya 

Sementara pada saat yang sama, negara-negara lainnya di dunia justru tengah dihadapkan pada adanya risiko geopolitik global yang semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya ekskalasi konflik antara Hamas-Israel. Dimana, hal itu berpotensi mengganggu perekonomian dunia secara signifikan, terutama apabila eksalasi konfliknya sampai meluas.

"Di Eropa, kinerja ekonomi diprediksi masih mengalami stagflasi. Sementara itu di Tiongkok, pemulihan ekonomi masih belum sesuai harapan, dan kinerja ekonomi masih berada di level pandemi. Itu meningkatkan kekhawatiran bagi pemulihan ekonomi global," kata Mahendra.

Terlebih, kenaikan yield surat utang di AS juga telah meningkatkan tekanan modal keluar (capital outflow) dari pasar emerging market, termasuk Indonesia. Sehingga, hal itu pun mendorong pelemahan, terutama di pasar nilai tukar mata uang dan pasar obligasi secara cukup signifikan.

"Volatilitas di pasar keuangan baik di pasar saham, obligasi, dan nilai tukar, juga dalam tren yang meningkat," ujar Mahendra.

Lalu, bagaimana dengan kondisi perekonomian Indonesia sendiri di hadapan pertumbuhan positif ekonomi AS pada kuartal III-2023 tersebut?

Mahendra mengatakan, di perekonomian domestik, tingkat inflasi tercatat sebesar 2,28 persen secara year-on-year (yoy), atau sejalan dengan ekspektasi pasar yang sebesar 2,2 persen. Namun, yang perlu cukup dicermati adalah tren kenaikan inflasi bahan makanan. Terutama komoditas beras dan gula, di tengah potensi penurunan produksi global akibat El Nino.

"Secara umum daya beli masih tertekan, yang tercermin dari inflasi inti yang kembali turun. Serta penurunan indeks kepercayaan konsumen, dan kinerja penjualan ritel yang rendah," kata Mahendra.

"Namun kinerja sektor korporasi relatif masih baik, lihat dari angka purchasing manufaktur index (PMI) yang terus berada di zona ekspansif dan neraca perdagangan yang masih mencatatkan surplus," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya