Logo BBC

Sultan Hamid II dan Amir Sjarifuddin, Sosok Besar Diselubung Sejarah

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Jadi, seperti halnya buku ajar, hal itu menjadi hak prerogatif penguasa juga. Tidak bisa berlawanan dengan yang pihak yang berkuasa.

Sebagai contoh, Mohammad Natsir (Ketua umum Partai Masyumi dan pernah menjadi perdana menteri) dan Sjafruddin Prawiranegara (pernah menjabat wakil perdana menteri dan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia) pernah diajukan sebagai pahlawan nasional, sempat ditolak oleh pemerintah -saya kebetulan ikut menjadi tim penilai.

Yang keberatan adalah pihak militer, dengan alasan bahwa gara-gara Natsir berapa jumlah manusia yang meninggal dan menderita karena perang.

Walaupun secara hukum Natsir dan Sjafruddin sudah mendapat amnesti, abolisi, tapi secara praktik korbannya banyak, kata pihak militer.

Karena semua anggota diberi kebebasan, akhirnya penilaiannya draw - seri. Lalu bagaimana jalan keluarnya? Kita memahami betul bahwa yang memutuskan adalah penguasa, yaitu presiden.

Lalu kita cari akal. Kebetulan panitia pengangkatan pahlawan mengadakan haul seabad Mohammad Natsir. Diundanglah Presiden SBY. Dia hadir sebagai presiden.

Salah-satu isi pidatonya SBY mengatakan `Inilah sosok Natsir, seorang nasionalis, dan seorang pahlawan nasional. Nah itu terekam dalam harian Kompas.

Jadi kita gunting saja koran Kompas. Lalu kita tempelkan dalam dokumen pengusulan. Ini inisiatif tim pusat. Dan pada November, diumumkan siapa yang mendapat gelar pahlawan, dan Mohammad Natsirmasuk sebagai pahlawan nasional.

Itulah yang kita tunjukkan adalah sisi positifnya. Kalau unsur polemiknya, bakal banyak tafsiran

Bagaimanapun, sejarawan harus bisa membedakan sejarah untuk kajian akademis dan ada pula sejarah untuk bahan ajar.

Kalau sejarah untuk bahan ajar di sekolah jangan menampilkan hal yang terlalu polemik. Kalau untuk kajian akademis, memang harus `seobyektif` mungkin.

Karena sekali menampilkan suatu peristiwa yang polemik, maka seluruh pendapat harus ditampilkan.

Jadi, tidak adil kalau hanya menampilkan satu sudut pandang atau satu tafsiran saja - semua tafsiran harus hadir.


Amir Sjarifuddin

Tahun ini, 72 tahun silam, mantan Perdana Menteri Indonesia, Amir Sjarifuddin, dieksekusi mati karena dianggap terlibat dalam peristiwa Madiun 1948.

Di tengah malam, 19 Desember 1948, di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, Amir bersama 10 orang kelompoknya, ditembak mati oleh satuan TNI, setelah tertangkap sebulan sebelumnya.

Buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, karya Soe Hok Gie, yang diangkat dari skripsi sarjana strata satu, menggambarkan momen-momen menjelang eksekusi mati itu.

"Amir bertanya kepada seorang kapten TNI yang memimpin proses persiapan eksekusi," tulis Soe Hok Gie. "Mau diapakan mereka [kami]?"

"Saya tentara, tunduk perintah, disiplin," jawab sang tentara. Malam itu, puluhan warga setempat disuruh menggali lubang sedalam 1,7 meter untuk penguburan 11 orang tawanan politik pemerintah - termasuk Amir.

Usai lubang digali, pelaksanaan hukuman mati pun dimulai. Amir Sjarifuddin, bekas perdana menteri dan menteri pertahanan, dan anggota politbiro CC PKI, serta ikut mencetuskan Kongres Pemuda II 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda, meminta waktu untuk "menulis surat"- tawanan lainnya melakukan hal yang sama.

Lalu, seperti yang tercatat dalam sejarah, dan juga ditulis Soe Hok Gie, "mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasional". Lantas, "dor"!

Sejarawan Ahmad Syafii Maarif, dalam kata pengantar di buku itu, menulis bahwa apa yang disebutnya sebagai pemberontakan PKI di Madiun 1948 itu membawa banyak korban, "dengan segala luka dan memori kolektif traumatik yang ditinggalkannya."

Kematian tragis Amir memang sudah menjadi masa lalu. "Sejarah," tulis Syafii Maarif dalam kalimat berikutnya," memang bertugas untuk mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dinilai penting oleh sejarawan".

"Untuk siapa?" Lanjutnya. "Untuk mereka yang masih hidup, bukan untuk mereka yang sudah mati." Syafii barangkali benar, tapi seperti yang dia tulis di awal, `Madiun Affair`, masih menyisakan residu-residu trauma kolektif - hingga sekarang.

Walaupun kuburan Amir dan 10 orang lainnya digali kembali, diidentifikasi, dan jasadnya diserahterimakan kepada keluarganya, serta dimakamkan kembali, sesuai perintah Presiden Sukarno, pada November 1950, pusara itu dihancurkan sekelompok massa usai G30S 1965.

"Sampai reformasi 1998, masih berupa gundukan tanah dan ditumbuhi rumput liar," ungkap Yunantyo Adi, aktivis kemanusiaan dan pemerhati sejarah, kepada BBC News Indonesia, Rabu (29/07) lalu.

Barulah pada 2008, pemugaran pusara Amir dapat dilakukan. Sebuah lembaga bernama Ut Omnes Unum Sint Institute memelopori pemugarannya, dengan terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan warga setempat dan Komnas HAM.