Warga Palestina Hidup Menderita di Pengungsian: Kami Seperti Pengemis,

Warga Palestina berjalan di tengah hujan di kamp pengungsian di Rafah, Gaza.
Sumber :
  • The Times of Israel.

GazaHujan lebat melanda Gaza, pada Rabu, 13 Desember 2023. Hal ini menambah penderitaan warga Palestina, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan sekarang meringkuk di tenda-tenda yang kebanjiran.

12 Orang Meninggal Dunia Akibat Banjir Lahar Dingin Marapi

Aziza al-Shabrawi, mencoba mengeluarkan air hujan dari tenda keluarganya, sambil menunjuk pada kedua anaknya yang hidup dalam kondisi genting.

“Putra saya sakit karena kedinginan dan putri saya bertelanjang kaki. Kami seperti pengemis,” kata pria berusia 38 tahun itu.  “Tidak ada yang peduli, dan tidak ada yang membantu," tambahnya, dikutip dari Times of Israel, Jumat, 15 Desember 2023.

Jakarta Berpotensi Hujan pada Minggu Siang

Pengungsi Palestina di Gaza.

Photo :
  • AP Photo/Fatima Shbair.

Suhu turun dalam semalam ketika hujan mengguyur wilayah Palestina, dimana banyak tenda terendam dan banyak orang terpaksa tidur di bawah terpal plastik karena kurangnya tempat berlindung yang lebih baik.

9 Negara Ini Tolak Palestina Jadi Anggota PBB, Salah Satunya Tetangga RI

Shabrawi adalah salah satu dari sekitar 1,9 juta orang yang diyakini telah mengungsi selama lebih dari dua bulan perang. Banyak warga Gaza yang juga melarikan diri ke Rafah selatan ketika IDF meminta mereka untuk meninggalkan Gaza utara, di mana IDF memerangi Hamas.

Dia terpaksa meninggalkan rumahnya di kamp pengungsi Jabaliya utara, dan mencapai kota selatan Khan Younis, kemudian melarikan diri lebih jauh ke Rafah ketika pasukan Israel terus menyerang Gaza. Rafah sendiri telah menjadi kamp pengungsi yang luas di samping perbatasan Mesir, dengan ratusan tenda didirikan dengan menggunakan kayu dan lembaran plastik.

"Kami menghabiskan lima hari di luar ruangan. Dan kini hujan membanjiri tenda,” kata warga pengungsi lainnya, Bilal al-Qassas.

Truk-truk pengangkut bantuan kemanusiaan memasuki Gaza dari titik penyeberangan pada perbatasan Gaza-Mesir di Rafah, Mesir.

Photo :
  • ANTARA/Xinhua/Ahmed Gomaa/tm/am.

Hembusan angin mengguncang bangunan yang rapuh tersebut, sementara orang-orang mencoba memperkuatnya dengan lebih banyak terpal plastik.

“Ke mana kita akan bermigrasi? Martabat kami hilang. Dimana wanita buang air kecil? Tidak ada kamar mandi,” kata Qassas.

“Kami mulai merindukan kemartiran.  Kami tidak ingin makan atau minum.”

Sejak 3 Desember, puluhan ribu orang telah mencapai Rafah, menurut badan kemanusiaan PBB. Mereka menghadapi kondisi yang sangat penuh sesak baik di dalam maupun di luar tempat penampungan.

"Mereka sangat membutuhkan makanan, air, tempat tinggal, kesehatan, dan perlindungan,” kata OCHA PBB dalam sebuah pernyataan.

“Tanpa jamban yang memadai, kebiasaan buang air besar di tempat terbuka semakin banyak, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan penyebaran penyakit lebih lanjut, terutama saat hujan dan banjir.”

Pada hari Selasa, COGAT, badan Israel yang mengoordinasikan kegiatan di Tepi Barat dan Gaza, men-tweet bahwa mereka telah mengkoordinasikan, dan memfasilitasi masuknya 50 kamar mandi untuk tempat perlindungan di Gaza, dengan ratusan tempat lainnya dijadwalkan tiba dalam beberapa hari mendatang.

Badan-badan bantuan juga telah berulang kali mengatakan bahwa jumlah bantuan yang mengalir ke Gaza tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.

Pengungsi Palestina ingin melihat gencatan senjata permanen di Jalur Gaza

Photo :
  • Abdelhakim Abu Riash/Al jazeera

Ketika perang semakin intensif, banyak warga Gaza meninggalkan rumah mereka hanya dengan pakaian yang mereka kenakan, pada saat suhu sedang hangat saat itu. Dengan perang yang sudah memasuki bulan ketiga, banyak warga Palestina mengatakan bahwa mereka bertahan hidup tanpa kasur, selimut, atau apa pun yang bisa menghangatkan mereka.

Bilal Abu Bakar, yang melarikan diri dari kamp pengungsi pesisir Al-Shati, mengatakan dia tidak memiliki akses listrik atau internet untuk memeriksa ramalan cuaca. “Tiba-tiba kami terendam air hujan,” kata pria berusia 49 tahun itu.

“Kami hanya punya satu selimut untuk sembilan orang. Kami meminta jumlah minimal, kasur, selimut, pakaian untuk pengungsi. Kita sudah melupakan penderitaan perang, dan sekarang kita menderita musim dingin dan suhu dingin yang membekukan, untuk berapa lama?."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya