- AP Photo/The Star Tribune , Jim Gehrz
VIVAnews - Presiden Mesir, Hosni Mubarak, membubarkan kabinetnya dalam menanggapi gejolak di negara itu. Namun, Mubarak menolak mundur, padahal itulah salah satu tuntutan utama massa demonstran, yang gencar berunjuk rasa dalam beberapa hari terakhir.
Menurut kantor berita Associated Press, keputusan pembubaran kabinet muncul pada Sabtu dini hari waktu setempat saat pihak keamanan Mesir bersusah payah membendung gelombang demonstrasi dan kerusuhan. Stasiun berita Al Jazeera dan Times of India mengungkapkan bahwa jumat malam kantor Partai Demokratik Nasional (NDP) yang berkuasa, baik di yang berada di Kairo dan di kota-kota lain, dibakar massa.
Pihak berwenang Mesir kemarin sore memberlakukan jam malam, yang melarang warga untuk berkumpul dari pukul 18 hingga pukul 7 keesokan harinya. Namun, larangan itu diabaikan massa, yang melanjutkan aksi protes dan berjibaku dengan aparat keamanan setelah shalat magrib.
Sebelumnya, pihak berwenang memutus semua akses komunikasi dan sambungan internet untuk mencegah demonsrasi yang lebih luas. Selain itu, aparat keamanan juga menahan tokoh oposisi yang juga peraih Nobel Perdamaian 2005, Mohamed ElBaradei, yang datang ke Kairo untuk memberi dukungan bagi para demonstran.
Namun, kekacauan kian menjadi-jadi. Massa justru bertambah garang dan berani baku hantam dengan pasukan keamanan. Sepanjang Jumat, kerusuhan melanda sejumlah kota besar di Mesir, seperti Kairo, Alexandria, Suez, Assiut, dan Port Said.
Beberapa jam kemudian, Jumat tengah malam waktu setempat, Mubarak akhirnya mulai angkat bicara. Dalam siaran televisi nasional, presiden yang sudah memerintah selama 30 tahun itu berjanji melakukan sejumlah reformasi sosial dan berupaya mengatasi krisis ekonomi.
Namun, pemimpin yang sudah berusia 82 tahun itu menyatakan tetap menjabat sebagai presiden. Mubarak juga membenarkan aksi pihak keamanan dalam membendung gelombang demonsrasi di penjuru Mesir.
Sikap itu dicerca oleh banyak pihak. "Kami ingin dia mundur [dari kekuasaan], namun dia malah menantang kami lebih lanjut," kata seorang aktivis, Kamal Mohamad. "Dia pikir pidatonya itu bisa meredakan situasi, namun dia justru kian membuat marah rakyat," lanjut Kamal.