Densus 88 : Pusat Terorisme Global Tak Lagi di Timur Tengah

Anggota Tim Densus 88 Antiteror tengah menangkap terduga teroris. (Ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA/M N Kanwa

VIVA.co.id – Jaringan teroris internasional, seperti ISIS dan Al-Qaeda, tidak asing lagi di telinga masyarakat dunia, juga di Indonesia. Namun asal mula pembentukan terorisme internasional ini ternyata telah muncul sejak puluhan tahun yang lalu.

DPR: Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme Bertentangan dengan UU

Kepala Bidang Investigasi dari Detasemen Khusus 88 (Densus 88) Anti-teror, Faisal Tayeb, mengungkapkan momentum terbentuknya cikal terorisme internasional adalah invasi Uni Soviet ke Aghanistan pada tahun 1979. Tak hanya itu, pasca kemerdekaan pun sudah ada gerakan yang ingin Indonesia sebagai Negara Islam.

"Pasca kemerdekaan itu ada yang secara diam-diam, tetapi ada juga yang menggunakan cara keras untuk membuat Indonesia sebagai Negara Islam. Banyak dari mereka yang kemudian pindah ke Malaysia, kemudian terlibat dalam perang di Afghanistan selama sepuluh tahun," kata Faisal dalam Simposium tentang Kekerasan dan Ekstremisme di Universitas Indonesia Depok, Rabu 30 November 2016.

Kekurangan Raperpres Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme

Sekembalinya pejuang ini ke negara masing-masing, seperti di Indonesia pada tahun 2000 inilah yang kemudian menjadi "pekerjaan rumah" bagi pemerintah dan penegak hukum. Contohnya adalah bom Bali, bom di Kedutaan Besar Australia, bom Bali 2, bom JW Marriot, dan sebagainya.

"Jika tadinya global terorisme seperti ISIS berpusat di Timur Tengah, saat ini sudah merembet ke Bangkok, Filipina Selatan, juga ke Malaysia. Hal inilah yang mengancam keamanan dan stabilitas di kawasan Asia," ujar Faisal.

LIPI: Pelibatan TNI dalam Penanganan Terorisme Pilihan Terakhir

Selain itu, proses radikalisasi yang dilakukan oleh penyebar ideologi ini juga dilakukan secara langsung seperti melalui pengajian, penyebaran artikel di media sosial dan propaganda melalui aplikasi media sosial dan aplikasi perpesanan instan.

"Banyak anak-anak yang direkrut oleh kelompok radikal ini melalui media sosial dan penyebaran konten yang mengandung konten kekerasan. Ini menjadi permasalahan kita bersama, antara masyarakat dan pemerintah untuk memantau dan mencegah lebih banyak hal-hal yang tidak diinginkan," lanjut Faisal.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya