Warga Kompleks Elite di Depok Kelimpungan 12 Hari Tanpa Listrik

Gerbang utama Aruba Residence di Jalan Pemuda, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat.
Sumber :
  • VIVA/Zahrul Darmawan

VIVA – Sebagian warga kompleks perumahan Aruba Residence di Depok, Jawa Barat, sudah dua belas hari tanpa listrik di rumah mereka. Penyebabnya ialah saluran kabel bawah tanah tegangan rendah (SKTR) untuk rumah-rumah mereka diduga diputus  manajemen pengembang perumahan itu.

Gegara Listrik Padam, 3 Pegawai Pemkab Brebes Panik Terjebak Dalam Lift 45 Menit 

Pemerintah sudah memerintahkan PLN untuk menyambungkan lagi jaringan listrik di sana. Tetapi masalahnya, SKTR di kompleks itu dibuat oleh perusahaan pengembang dan karenanya menjadi aset si perusahaan, bukan aset atau bagian tanggung jawab PLN.

Otoritas perusahaan pengembang tak mengizinkan PLN  memasuki kompleks itu sehingga petugasnya tak dapat berbuat apa pun untuk mengatasi masalah di sana. PLN dan aparat setempat masih bernegosiasi dengan perusahaan pengembang untuk mencari solusi atas permasalahan itu.

Panas Bangladesh Hingga 41 Derajat Celcius, Sekolah Minggu Ini Ditutup

PLN memahami maksud pengembangan menggunakan SKTR, bukan saluran udara tegangan rendah (SUTR), sebagaimana lazimnya. Perusahaan pengembang pun berinvestasi mandiri atas jaringan SKTR itu dan tak menggunakan sedikit pun SUTR milik PLN.

"Mereka maunya SKTR jalur bawah, jadi ini milik developer (perusahaan pengembang perumahan). Kalau sistem itu namanya aset mereka (pengembang)," kata manajer Hubungan Masyarakat PLN Depok, Setyo Budiono, saat ditemui wartawan di depan gerbang utama Aruba Residence, Jalan Pemuda, Kecamatan Pancoran Mas, Depok, pada Selasa, 25 September 2018.

Sederet Kisah Perjuangan Tiko, Mulai dari Merawat Ibu yang Depresi hingga Hidup Tanpa Listrik

"Kalau melihat dia (pengembang) mencabutnya di sisi aset mereka. Kalau di atas (SUTR) baru milik PLN, jadi enggak boleh (diputus oleh selain petugas PLN),” ujarnya.

PLN, katanya, tetap berusaha menemukan solusi atas permasalahan listrik di kompleks itu. Bahkan tim PLN tiga kali datang ke sana tetap belum diizinkan masuk. "Sekarang kita tunggu saja hasil dari rapat antara pimpinan kami dengan pihak Kepolisian dan Pemkot,” katanya.

Negara tak berdaya

Warga menilai PLN tidak berdaya menghadapi sikap pengembang. Padahal, kasus pemutusan listrik secara sepihak itu berlangsung selama 12 hari. Sementara mereka sebagai warga negara tetap berhak mendapatkan aliran listrik.

”Ini yang merupakan hasil koordinasi Pemkot, Polisi dan PLN. Sebetulnya ini bentuk pelecehan terhadap insitutsi negara. Negara tidak berdaya menghadapi pengembang. Intinya kami akan terus berjuang,” kata Parta, Ketua RT setempat.

Jerry, perwakilan perusahaan pengembang, menolak memberikan keterangan. “Saya enggak tahu, saya enggak punya kewenangan, saya enggak bisa ngejelasin apa-apa,” katanya.

Gara-gara uang iuran

Peristiwa itu dilatarbelakangi perselisihan antara perusahaan pengembang dengan sejumlah warga. Perusahaan merasa masih berhak mengelola, sementara warga menginginkan swakelola karena tindakan wanprestasi pengembang terhadap pengelolaan fasilitas perumahan.

Masalah makin rumit saat pengembang menaikkan sepihak Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL): dari Rp200 ribu per rumah per bulan menjadi rata-rata Rp1 juta per rumah per bulan. Setelah diprotes, besaran IPL diturunkan menjadi Rp700 ribu per rumah per bulan.

"Warga sama sekali tidak dilibatkan, dan ternyata setelah dijabarkan, banyak komponen yang menjadi tanggung jawab pengembang dibebankan ke warga, misalnya, gaji pengelola yang jumlahnya cukup besar,” kata Vid Adrison, perwakilan warga.

Padahal, kata Vid, dalam Berita Acara Serah Terima rumah antara pengembang dengan konsumen, salah satu poinnya menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari perhimpunan penghuni telah dibentuk, dan pihak perhimpunan penghuni menginginginkan untuk mengelola sendiri, besaran iuran akan ditentukan bersama oleh perhimpunan penghuni.

Kuasa hukum warga, Wahyu Hargono, menyebut perusakan jaringan yang menyebabkan putusnya aliran listrik di perumahan Aruba membuktikan bahwa pengembang sewenang-wenang. Itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum dan hak asasi warga, bahkan tindak pidana. Dia telah melapor kepada polisi dam bertemu ke DPRD dan Pemkot Depok.

Pemutusan secara sepihak listrik yang dialami tujuh warga itu sejak Rabu, 12 September. Sejumlah warga itu pun terpaksa menumpang listrik tetangga lain yang masih menyala.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya