- VIVAnews/Tri Saputro
VIVAnews - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menyederhanakan kepemilikan angkutan umum. Itu dilakukan supaya operasionalnya mudah dipantau. Sehingga apabila terjadi tindak kejahatan di dalam angkot, petugas akan mudah melacaknya.
Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, mengatakan keamanan angkot sejauh ini sangat penting dan merupakan bagian dari upaya penataan manajemen.
"Bayakngkan kalau 200 kendaraan yang dimiliki orang yang berbeda, kan lebih sulit untuk menjaminnya dibanding kalau diurus lima perusahaan misalnya, akan lebih sederhana," kata Fauzi Bowo di Jakarta, Senin 19 Desember 2011.
"Saat ini sedang dibahas dengan peraturan daerah," ujar dia lagi.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono, menambahkan, dengan adanya penyederhaan kepemilikan angkot, maka perilaku sopir dapat dikontrol.
Selain itu penertiban yang individual, pengurusannya akan menjadi berkelompok. "Kopaja AC sudah melakukan itu," ucap Pristono.
Sementara itu, dia mengungkapkan saat ini pihaknya masih menunggu hasil penyidikan kepolisian terhadap kasus perampokan disertai perkosaan yang terjadi di dalam angkot M-26 jurusan Kampung Melayu-Bekasi. "Begitu ada keputusan izin trayek akan dicabut," ujarnya.
Sebab sanksi hukum bukan saja dikenakan kepada sopir, tapi juga pemilik. Ini sesuai dengan undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, bahwa pemilik harus tanggung jawab dengan tindakan pengemudinya.
"Kalau dipakai pemerkosa mikrolet itu harus dicabut izinnya," ucap dia.
Sebenarnya, lanjut Pristono, untuk meminimalisir kejahatan di dalam angkutan umum, pihaknya sudah melakukan penataan dengan menertibkan yang menggunakan kaca film melebihi 70 persen.
Sejak 1 Desember lalu Dishub menerapkan penggunaan atribut sopir, seperti seragam, Kartu Pengenal Anggota (KPA) dan Kartu Pengenal Pengemudi (KPP).
Selama penertiban yang telah berjalan dua pekan ini, pihaknya berhasil menindak ratusan sopir yang belum memiliki kelengkapan atribut. "Harusnya dengan penilangan ini ada efek jera, karena harus bayar Rp60 ribu hingga Rp75 ribu di sidang. Tapi tampaknya belum jera juga," ujar Pristono. (adi)