Pemerintah Akan Putuskan Kolom Aliran Kepercayaan di e-KTP

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Menteri Dalam Negeri RI Tjahjo Kumolo menyatakan, hari ini pemerintah akan menggelar rapat terbatas kabinet untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencantuman kolom aliran kepercayaan di Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP.

Penganut Penghayat Kepercayaan Ingin Ganjar Pimpin Indonesia

Menurutnya, pemerintah akan menyampaikan empat opsi pilihan terkait dengan putusan MK tersebut kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.

"Saya hanya melampirkan implikasi dari putusan MK, kami menyampaikan empat opsi di blanko e-KTP, karena ini menyangkut isu yang sensitif ya. Nanti, mana yang disetujui oleh kabinet menyangkut kolom agama dan menyangkut kolom kepercayaan," kata Tjahjo usai menghadiri acara Rakornas Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga di Kantor Kementerian KLHK, Jakarta Pusat, Selasa 3 April 2018.

KTP bagi Penghayat Kepercayaan 'Masih Tersandung Masalah Administrasi'

Ia menambahkan, empat opsi yang akan disampaikan dalam rapat kabinet hari ini merupakan hasil diskusi dari sejumlah pihak, di antaranya MUI, WALUBI, PGI, dan sejumlah organisasi yang memayungi para pemeluk aliran kepercayaan lainnya.

"Selama ini, kan ada usulan ditulis agama/kepercayaan kan. Tetapi, enam agama yang sah dan diakui merasa keberatan kalau di sana ditulis agama/kepercayaan, karena menurut mereka agama dan kepercayaan itu berbeda," ujarnya.

Warga Korea Kepergok Sebarkan Ajaran Kerajaan Yehuwa di Jambi

Selain itu, lanjut Tjahjo, sejumlah organisasi aliran kepercayaan juga mengusulkan penulisan pada kolom aliran kepercayaan di dalam e-KTP. "Misalnya, Aliran Kepercayaan: Sunda Wiwitan," tambahnya.

Itu semua, kata Tjahjo akan dilaporkan secara resmi kepada Presiden Joko Widodo siang hari ini. "Jadi, apakah nanti ditulis Agama: atau di bawahnya Aliran Kepercayaan: atau dibuat khusus yang untuk kelompok aliran kepercayaan," katanya.

Ia menjelaskan, data yang dihimpun dari Kementerian Pendidikan Nasional yang menangani masalah aliran kepercayaan, jumlah penganut aliran kepercayaan di Indonesia tercatat sebanyak 138.790 jiwa. Mereka tergabung di dalam 187 organisasi yang tersebar di 13 organisasi. "Dari 187 organisasi itu yang aktif ada 160 organisasi, 27 lainnya tidak aktif. Jadi, tidak terlalu banyak," paparnya.

"Jadi, nanti semua kita bahas dan akan diputuskan di rapat kabinet nanti. Kita akan minta masukan dari Kementerian Agama, Mendiknas, dan lain sebagainya nanti. Apakah nanti akan dibuat masing-masing atau seperti apa, nanti diputuskan," ujarnya.

Permohonan penganut kepercayaan saat sidang di MK.

Para penghayat kepercayaan yang mengajukan uji materi ke MK

Putusan MK

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan untuk seluruhnya permohonan uji materi pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta pasal 64 ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan junto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk, yang mengatur pengisian kolom agama pada KK dan KTP.

Para pemohon yang terdiri dari para penghayat kepercayaan, mengajukan permohonan UU tentang Administrasi Kependudukan ke MK. Uji materi ini diajukan, karena selama ini, penghayat kepercayaan merasa didiskriminasikan oleh pemerintah dalam KTP dan KK.

Dalam pertimbangannya, Ketua MK Arief Hidayat menyatakan gugatan warga penghayat kepercayaan beralasan menurut hukum. Dan, akibat adanya perbedaan penganut agama yang diakui dan penghayat kepercayaan di KTP, membuat warga mendapatkan pelayanan berbeda di fasilitas publik.

Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945, maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antar warga negara merupakan tindakan diskriminatif.

Atas dasar itu, Arief berpendapat pasal 61 ayat 1 dan pasal 64 ayat 1 UU Administrasi bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut juga dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

"Menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk kepercayaan," kata Arief Hidayat di Gedung MK Jakarta, Selasa 7 November 2017.

Atas dasar putusan MK tersebut, status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan KTP. Meskipun untuk penulisan di KTP dan KK, MK mengatakan tidak perlu diperinci.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya