KPK: Biaya Politik Kepala Daerah Tinggi, Jadi Banyak Korupsi

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, sejak KPK berdiri 18 tahun yang lalu hingg detik ini perilaku korupsi di Indonesia belum ada perubahan sama sekali bahkan semakin banyak kepala daerah yang nekat korupsi dan terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT).

243 Bakal Calon Kepala Daerah Daftar ke Golkar Sumut untuk Bertarung di Pilkada 2024

"Tahun 2018 KPK sudah melakukan OTT sebanyak 27 kali dan 20 di antaranya adalah kepala daerah. Ini menunjukkan perilaku korupsi masih belum ada perubahan," kata Alexander Marwata dalam Seminar Nasional 'Korupsi dan Transparansi Pengelolaan Keuangan Desa' di Kampus UMY, Yogyakarta, Jumat 23 November 2018.

"Bupati Pakpak Bharat di Sumatera Utara itu kepala daerah ke 100 yang ditangkap oleh KPK semenjak KPK berdiri," ujarnya menambahkan.

Sri Mulyani, Andika Perkasa, dan Risma Masuk Bursa Cagub PDIP DKI

Maraknya kepala daerah yang terkena OTT oleh KPK disebabkan beberapa hal yaitu biaya politik yang tinggi untuk menjadi kepala daerah sedangkan gaji kepala daerah jika dikalikan selama lima tahun menjabat tidak akan kembali sebanyak biaya politik yang telah dikeluarkan.

"Untuk menjadi bupati di Sumatera Utara misalnya saja butuh Rp10 miliar hingga Rp20 miliar. Nah kalau gaji Rp5 juta per bulan ditambah tunjangan maka total yang diperoleh jauh dari Rp20 milliar. Lalu mereka nekat korupsi," ucapnya.

PDIP Buka Pendaftaran Cagub Jakarta 8-20 Mei 2024

Marwata juga mengaku tak percaya hasil Pilkada tahun 2018 sebanyak 171 kepala daerah yang menang punya niat mengabdi semuanya, namun pasti ada yang ingin biaya politik yang mahal itu juga kembali lagi.

"Nah biaya politik yang tinggi sehingga kepala daerah melakukan korupsi ini menjadi kajian bagi KPK terkait sistem pilkada apakah langsung atau melalui perwakilan karena sistem demokrasi di Indonesia itu keterwakilan sesuai sila ke empat Pancasila," ucapnya.

Lebih jauh prilaku korup oleh kepala daerah juga bisa terjadi karena ada politik dinasti seperti yang terjadi di Kabupaten Klaten yang selama 20 tahun dikuasai oleh suami istri sehingga ketika ada OTT di Klaten muncul istilah demokrasi ala Klaten.

"Ada yang dari Klaten? Tidak usah malu. Saya orang Klaten dan saya malu itu. Apalagi sempat muncul dan viral di media sosial tentang demokrasi ala Klaten," ujarnya. (mus)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya