Komnas HAM: Tim Asistensi Hukum Bentukan Wiranto Mirip Kopkamtib

Menko Polhukam Wiranto saat konferensi pers soal Tim Khusus
Sumber :
  • Istimewa

VIVA - Tim Asistensi Hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, dirasa mirip Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang ada saat rezim Orde Baru. Sebab, tugas tim menilai ucapan pihak yang bertolak dengan pemerintah.

Momen Wiranto dan AHY Ikut Bermalam di IKN Nusantara Bareng Jokowi

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, menyebut tindakan tersebut rawan disalahgunakan guna membungkam kritik pada pemerintah.

"Ini kayak pangkopkamtib zamannya Soeharto," ujar Anam di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat 10 Mei 2019.

Wiranto Sebut Hadi Tjahjanto Sosok Tepat Jadi Menko Polhukam, Paham Anatomi Ancaman

Pembentukan dinilai tak masuk akal karena untuk merespons ucapan tokoh pasca Pemilu 2019. Apabila memang ada ucapan tokoh mengarah pada ancaman kedaulatan negara, polisi dirasa bisa jadi pihak yang menindaklanjutinya.

Untuk itu lah, pembentukan tim harus dievaluasi karena tampaknya malah membuat kondisi memanas. Sebaiknya, tim ini dibentuk langsung di bawah kapolri lantaran kepolisian lah yang bertugas menjaga keamanan.

Wiranto: Saya Sebagai Pembina TKN, Bersaksi Tak Ada Agenda Apalagi Rencanakan Kecurangan

"Ada baiknya tim ini dievaluasi ulang. Kalau memang dibentuk ulang, ya di bawah kepolisian, bukan menteri," kata dia lagi.

Sebelumnya, Menko Polhukam Wiranto menyampaikan akan membentuk tim pengkaji yang berperan mengkaji tindakan yang melanggar hukum. Wiranto menyebut tim ini merupakan kesimpulan dari rapat koordinasi terbatas di kantornya, Senin, 6 Mei 2019.

Dia mengklaim pemerintah sudah berkomunikasi dengan beberapa pakar hukum tata negara terkait pembentukan tim ini.

"Dan, tim ini lengkap, dari para pakar hukum tata negara, para profesor, doktor berbagai universitas sudah saya undang. Sudah saya ajak bicara," kata Wiranto.

Menurutnya, tim ini dibentuk karena tak bisa membiarkan potensi ancaman terhadap pemerintahan yang masih sah. Ia pun menyebut ancaman itu seperti hujatan dan cercaan terhadap Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara yang masih berlaku hingga Oktober 2019.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya