Soal UU KPK, Gugatan ke MK Dianggap Lebih Elegan

Demo Pelajar Tolak RUU KUHP dan UU KPK.
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVAnews - Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ade Reza Hariyadi menilai, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menjadi preseden kurang baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pengacara Panji Gumilang Minta Pemerintah Tinjau Ulang Penilaian Buruk ke Al-Zaytun

Di mana, satu produk UU belum apa-apa, sedikit-sedikit sudah di-perppu-kan.

Ade mengakui, perppu merupakan hak Presiden, dan urgensinya bergantung tafsir pemerintah mengenai kondisi yang bersifat memaksa, darurat, dan genting, sehingga perlu mengeluarkan perppu.

Galangan Kapal Panji Gumilang Masih Disegel, Alvin Lim Kritik Pemkab Indramayu

Namun, dia melihat, ada kepentingan pencitraan di balik rencana penerbitan perppu tersebut.

"Kalau pemerintah melihat aspirasi gerakan jalanan, ekstra parlementer, tekanan masyarakat cukup besar, dan akan memengaruhi legitimasi politiknya, bisa saja, karena ada kepentingan menjaga citra politiknya mengeluarkan perppu untuk memenuhi tuntutan publik," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu 29 September 2019.

Frustasi Angka Kelahiran Rendah, Presiden Korsel Bentuk Kementerian Baru

Namun, kata dia, pemerintah bisa saja mencari aman, demi menjaga citra politik. Sebab, sejak awal sebenarnya pemerintah bisa memediasi aspirasi terkait RUU KPK.

"Pemerintah kan 'co-legislator' dalam proses legislasi dan sejak awal sebenarnya bisa memediasi aspirasi yang dibawa DPR terkait RUU KPK, dan aspirasi-aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk aspirasi KPK sendiri," katanya.

Menurut dia, untuk membangun tradisi ketatanegaraan yang lebih mapan dan elegan, ada baiknya disahkan dulu sebagai UU, baru kemudian mempersilakan, jika ada yang mau mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Itu lebih elegan, dan menghindari potensi kewenangan berlebihan di tangan Presiden dalam membuat kebijakan setingkat UU. Bisa menjadi preseden yang berulang-ulang, sedikit-sedikit diintervensi, ditafsirkan keadaan darurat, kemudian di-perppu-kan," katanya.

Sementara itu, Direktur LBHA Trisakti, Ucok Rolando P. Tamba mengatakan bahwa perppu merupakan kewenangan Presiden, tetapi harus ada syarat yang dipenuhi, yakni kondisi yang mendesak.

Jika kemudian adanya demonstrasi-demonstrasi dinilai sebagai kondisi mendesak untuk mengeluarkan perppu, ia mengingatkan, demonstrasi adalah hak menyampaikan pendapat yang sudah diatur konstitusi.

Selain perppu, kata dia, sebenarnya ada dua cara lagi untuk membatalkan UU KPK, yakni mengajukan "judicial review" ke MK yang sudah diatur negara dengan memberikan saluran-saluran dalam konteks demokrasi.

"Bisa juga lewat upaya 'legislatif review'. DPR periode mendatang bisa merevisi lagi UU KPK, karena melihat kemungkinan ada pasal-pasal yang dianggap memperlemah KPK," kata Ucok.

Sebelumnya, tuntutan para mahasiswa agar Presiden menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tampaknya akan terwujud. Presiden Joko Widodo memberi sinyal akan menerbitkan Perppu dalam waktu dekat ini.

Itu, diakui Jokowi, usai menerima sejumlah tokoh dan pakar hukum di Istana Merdeka Jakarta, Kamis 26 September 2019. Ada sekitar 40-an tokoh yang hadir. Menurut Jokowi, banyak sekali masukan dari berbagai pihak yang meminta, agar pemerintah menerbitkan perppu, khususnya UU KPK yang baru saja disahkan DPR.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya